Feature

OPINI: *Rustam Madubun:  Ceritanya Kita Tau, Tapi Suasana Psikologisnya  Sulit Kita Tangkap

104
×

OPINI: *Rustam Madubun:  Ceritanya Kita Tau, Tapi Suasana Psikologisnya  Sulit Kita Tangkap

Sebarkan artikel ini

Pemred  Papuadalamberita.com, Rustam Madubun. FOTO: DOKUMEN

PAPUADALAMBERITA.COM. MANOKWARI – Hidup sangat lah indah. Tapi hidup tak selamanya berakhir indah, kebahagian, romantis dengan orang-orang tercinta seperti keluarga, sahabat,  kerabat atau warga sekitar. Tetapi hidup bisa berbalik, sedih, gunda, amarah, bahkan mengganaskan bersama orang terkasih.

Bagaimana berbuat baik dengan sesama, bukan berbuat jahat, bagaimana hati seseorang tidak teriris-iris melihat orang yang menjadi punggung keluarga untuk bersandar tiba-tiba tiada. Kematian adalah pasti, tidak bisa dipercepat dan diperlambat, berharap kepergi dengan tenang, bukan dengan kekerasan.

Yang belum dipangil pun mengimpikan hidup tanpa gangguan, dua cerita yang bisa kita lihat, tetapi susana psikologis yang berbeda yang sulit kita tangkap.

Ceritanya dapat diketahui, membela dengan melawan kesabaran karena harga diri, memang Ia. Tetapi apakah pembelaan harus berlebihan berakhir dengan kepergian selamanya, atau hidup dibalik jeruji besi, bukan pembelaan itu  kembali meningglkan kesedihan baru? Suasana psikologi ini yang sulit kita tangkap juga.

Jika hidup itu indah, kenapa kita tidak jaga, keamanan, ketertiban dan  kehidupan yang damai  dirindukan setiap mahkluh hidup, bukan hanya dimpikan korban dan pelaku penyebab peristiwa.

Kehidupan yang nyaman, kehidupan yang aman kehidupan yang tertib  tanpa menganggu orang lain, Selasa (23/3/2021) di Manokwari entah kemana!

Jantung Ibu Kota Provinsi Papua Barat tiba-tiba pada pukul  04.30 WIT berdetak  dari kawasan Wosi Transito Manokwari hingga sore berangsung pulih.

Bukan saja psikologi dua orang korban bersimbah darah terganggu, tetapi mereka telah pergi selamanya, atau psikologi seorang warga yang menjalani penahanan di Polres Manokwari terganggu, karena perbuatan pelaku juga menguncang psikologi keluarga yang ditinggal, Ia harus menjalani penahanan sebagai konsukwensi logis penegakan hukum positif. Tidak selesai sampai disitu.

Psikologi bawaan dari cerita sedih itu ikut menguncang warga Manokwari, warga kembali dirundung ketakutan, kekuatairan, persitiwa 19 Agustus 2019 lalu, yang mengakibatkan kerusakan bangunan, penjarahan kekerasan lainnya masih terbayang.

Rekam jejak digital persitiwa kelam Agustus masih tersimpan, terpampang di media-media resmi berbasis online, cetak atau visul tetapi, persitiwa itu terjadi di ruas jalan yang akan di lalui peristiwa ini, di pusat kota Manokwari, warga sepanjang jalan kenangan itu pun terbayang cerita 19 Agustus.

Lantas siapa yang harus menjadi psikolog kepada kita untuk tidak memutar kembali cerita kelam itu? Singkatnya, semua elemn masyarakat, tokoh, aparat keamanan harus menjadikan hukum sebagai panglima.

Mari kita doakan mereka yang telah mendahuli  kita, semoga mereka  diberi tempat yang indah oleh Tuhan di Sana. Dan percayakan tangan aparat memproses pelaku dengan hukuman setimpal sesuai tindakannya.

Jangan lagi kita mengganggu psikologi warga Manokwari lainnya yang tidak terkait dengan persitiwa itu.

Gantilah amarah dengan selembar kain putih yang bersih,  jadikanlah Manokwari kota yang bersahaja bagi semua orang. Jangan tutup kedamaiaan Manokwari  dari satu cerita yang kita tau tetapi suasana psikolgi yang sulit kita tangkap. *pemred papuadalamberita.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Maaf Tidak Bisa Dicopy !!