PAPUADALAMBERITA.COM. “Sekarang banyak pengawal,” kata Markus setelah mernarik napas panjang.
“Mereka lebih brutal.” Kami berdiam di honai 1 dan honai 2 yang kami sebut Kamp 18 itu menunggu hari pembebasan yang dijanjikan.
Rencananya demikian santer, bahkan khusus dipilih hari Palang Merah Internasional 8 Mei sebagai hari pembebasan kami.
Mau tidak mau kami menganggap serius janji bebas ini dibandingkan janji-janji sebelumnya, dan tidak segan – segan membayangkan tidak lama lagi bakal pulang ke rumah masing-masing.
Tapi Justus Wonda memperkecil harapan kami dengan mengatakan, “Bebas tanggal 8 Mei, omong kosong. Kelly Kwalik bohong.”
Karena kegembiraan yang meluap-luap, informasi Justus kali ini tidak laku, sebagian besar tidak mengacuhkannya, tidak percaya.
Lebih-lebih pada tanggal 7 Mei Dr Ferenc menginap satu malam di kamp kami, berbicara cukup lama dengan Navy dan Mark tentang pembebasan yang diatur serapi dan secermat mungkin, terutama
mengenai pesta babi yang dikehendaki Kelly Kwalik.
“Tanggal 8 Mei dipersiapkan dengan sungguh-sungguh sebagai hari pembebasan,” kata Dr Ferenc.
“Banyak hal-hal yang dipertaruhkan agar tercapai kesepakatan, termasuk dana yang besar untuk pesta babi.”
Di antara kami hanya aku yang agak terpengaruh omongan Justus. Aku lebih banyak diam dan kurang bersemangat. Navy sampai bertanya, “Ada apa De, apa yang kamu pikirkan?”
“Saya ragu-ragu tentang pembebasaan,” jawabku gamblang.
“Kamu dengar apa kata Justus?”
“Kita harus optimis De, Justus hanya mengada-ada. Mungkin dia tidak rela berpisah dengan kita’’.
“Dokter Ference menghibur aku, “ts okey, Dinda, tenang saja, semua bisa kita atasi.”
Aku tahu, ini adalah pendekatan terakhir yang dapat dilakukan ICRC. Kalau tidak berhasil ICRC akan angkat tangan, dan ABRI (Kini TNI, red) ber-tindak.
Silvianne menyampaikan kepadaku tentang kegelisahan keluargaku atas situasi yang tidak menentu. Bapakku mewakili keluarga para sandera sampai mengirim surat kepada Bapak Wakil Presiden Try Sutrisno.
Antara lain Bapak menulis:
‘’Memperhatikan perkembangan akhir-akhir ini dari surat-surat anak-anak kani sebagaimana kani utarakan di atas dan keadaan status quo da-lam arti tidak tampaknya upaya Pemerintah RI maupun pihak ABRI (mohon maaf kalau kami keliru) maka tindakan persuasif yang ditenmpuh selama ini rasa-rasanya tidak mempengaruhi sikap GPK-OPM, yang bilamana keadaan ini terus menerus tidak berketentuan yang menderita adalah para sandera dan kami sebagai orang tua mengkhawatirkan kondisiyang lebih parah lagi.
Sebab saat ini mental mereka sudah mulai goyah dengan menceritakan kejenuhan, ketakutan, dibawa dan disembunyikansemakin masuk ke dalam hutan, merasa frustrasi serta berpikiran kita yang berada di pusat/Jakarta termasuk keluarga tidak berupaya apapun,’’.
Dalam rangka upaya terakhir, aktivitas Delegasi ICRC memang meningkat dengan hilir mudik mendatangi Geselama. Barangkali Navy benar, Justus hanya mengada-ada. Dengan kesimpulan seperti itu aku mulai ikut bergembira dan berpengharapan bebas seperti teman-teman yang lain. Navy mulai sering tersenyum dan bernyany-nyanyi.
Masak dan makan berdua Mark, akrab sekali. Aku trenyuh menyaksikan mereka begitu menikmati hari-hari terakhir dalam penyanderaan. Akhirnya kami bebas, dan itu berarti kami akan ber-pisah, setelah melewati hari-hari penuh derita bersama-sama.
Betapapun pertemuan kami terjadi dalam kurun waktu yang menye dihkan dan menyakitkan, tapi perpisahan senantiasa mengharukan.
Dua hari menjelang hari pembebasan, kami memasukkan barang Darang ke dalam kardus untuk dibagi-bagikan kepada penduduk karena kami tidak memerlukan lagi.
Pagi hari tanggal 8 Mei, hari pembebasan dengan pesta babi, kami semua mandi dan mengenakan pakaian terbaik. Pesta babi ini menurut para perngawal merupakan upacara adat yang , diselenggarakan untuk melepaskan kami. Seluruh masyarakat di wilayah ini sangat gembira menyambutnya. Tempat upacara telah dipersiapkan jauh hari sebelumnya oleh penduduk dengan membuat podium dan tempat duduk.
Sayangnya kami tidak diperbolehkan berangkat berbareng, melainkan bertahap Dr Ferenc mendahului kami berjalan menuju Geselama yang jaraknya 15 menit berjalan kaki. Sesudah itu Mark.
Daniel dan Navy menyusul, sedangkan kami masih harus menunggu perintah dari Geselama. Tak lamna kemudian muncul seseorang memberi kabar bahwa kami boleh berangkat.
Keberangkatan rombongan kami dari honai 1 darn honai 2 ternyata sudah termasuk dalam bagian seremoni.
Kami diiringi dari belakang oleh penduduk yang memakai kostum tradisional, lengkap dengan aksesori dari bagian-bagian tubuh dan wajah coreng moreng.
Aku dan Jualita bergandengan tangan menuruni bukit dengan langkah ringan, diikuti teman-teman-teman lain. Bebas, oh bebas, betapa menyenangkan meneriakkan kata-kata itu
Perjalanan yang seharusnya cepat dan singkat menuju tempat upacara menjadi lama karena diselingi lagu-lagu tradisional yang dinyanyikan kaum pria, dan pada setiap lagu yang didendangkan kami harus berhenti melangkah. Sampai di Geselama kami disambut oleh ratusan penduduk dengan lagu dan tari-tarian.
Penduduk asli Geselama kami perkirakan hanya berkisar 100 orang, tapi hari itu membengkak menjadi 400-an orang yang berdatangan dari desa-desa lain, bukan hanya dari suku Nduga dan Amungme, tetapi juga suku Dani.
Sejak bulan April sudah banyak pasukan GPK-OPM. Mereka lebih pintar, lebih mudah curiga, dan brutal.
Seorang kepala suku pedalaman turut hadir mengenakan pakaian perang dengan hiasan kepala burung cenderawasih dan wajah dilumuri lumpur, tapi memakai celana jean sambil mengisap rokok dan menenteng radio tape pemberian ICRC.(rustam madubun) Bersambung ke: Bagian (3) Mei 1996 Pesta Pembebasan Yang Mencekam: Habis Sudah Usaha ICRC Menyelamatkan Kami