PAPUADALAMBERITA.COM.MANOKWARI – Ketua Umum ICMI Pusat Prof DR Haji Arif Satria SP, Msi yang juga Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, masyarakat harus adaptif terhadap teknologi, jika tidak maka masyarakat akan ketinggalan.
Baca juga: Pesan Ketua Umum ICMI Pusat Arif Satria Saat Lantik Pengurus ICMI Papua Barat
”Institut Pertanian Bogor (IPB) telah melakukan simulasi, hasilnya adalah, pada tahun 2080, jika perubahan iklim tidak terkendali maka kopi akan berakhir punah,’’ ujar Arif.
Hal tersebut disampaikan Rektor IPB saat melantik Drs Ali Baham Temongmere MTP sebagai Ketua ICMI Provinsi Papua Barat periode 2024 – 2029 di Swiss Belhotel Manokwar, Jumat (17/5/2024).
Rektor IPB mengingatkan apalagi di tengah menghadapi tantangan besar perubahan iklim, tantangan besar perubahan teknologi 4.0 (four point zero), tantangan besar geopolitik global.
‘’Perubahan iklim telah merombak cara hidup dan berdampak pada produksi pangan, setiap kenaikan 1 derajat suhu maka akan menurunkan 10 persen produksi beras nasional,’’ jelas Arif Satria.
‘’Berdampak kepada peternakan, perikanan, dan gizi mikro, tanaman sayuran yang kita tanam dulu memiliki kandungan gizi tinggi daripada sekarang,’’ ujar Arif.
Kata Arif, perubahan iklim berdampak pada kualitas gizi mikro, saat kita mengkonsumsi aneka makanan, perubahan iklim berdampak pada kopi itu juga akan terdampak oleh perubahan iklan karena setiap kenaikan suhu, maka akan menurunkan produktivitas kopi.
‘’IPB sudah melakukan simulasi dan hasilnya adalah, pada tahun 2080 kalau perubahan iklim tidak terkendali maka kopi akan berakhir umurnya,’’ ujar Arif.
‘’Jadi cucu, cicit kita akan melihat kopi di museum, dia akan berkata, buyut saya, kakek saya pernah minum kopi, jadi kopi tidak akan ada lagi kalau kita tidak mampu melakukan mitigasi terhadap perubahan iklim,’’ sambung Arif meuakinkan.
Rektor IPB ini mengatakan, tantangan teknologi semakin dahsyat, dan canggih, semua warga saat ini terseok-seok mengikuti perkembangan teknologi yang sangat-sangat cepat.
‘’Saya sampaikan, dalam lima tahun perubahan skill seseorang terjadi 30%, artinya kita mengajar pada mahasiswa tahun ini skill-skill baru, maka ketika dia lulus lima tahun ke depan skill yang bertahan tinggal 60%, itu hari ini,’’ papar Arif.
Mungkin 2030, bukan 5 tahun, bisa 3 tahunan bisa oleh karena itu kemampuan kita untuk beradaptasi terhadap perlunya skill-skill baru.
’’Sekarang banyak pekerjaan-pekerjaan hilang, Wartel sudah tidak ada, loper koran tidak ada, tukang pos sudah tidak ada,” Arif mencontohkan.
Dan sekarang kita menyaksikan aneka revolusi revolusi teknologi sudah semakin berkembang kombinasi antara biologi dan it sudah berkembang, jadi kita menyimpan data saat ini di flashdisk di hardisk
Kata dia, saat ini ilmuan sedang melakukan riset bagaimana menyimpan data di DNA, jadi tumbuhan itu bisa menjadi tempat penyimpanan data-data, DNA bisa menjadi sumber penyimpanan data kita, juga manusia bisa melakukan visualisasi mimpimanusia.
‘’Jadi kalau kita mimpi, kemudian kita tidur dengan alat, terkoneksi ke TV, begitu tidur kita bermimpi, mimapa yang kita mimpi bisa tergambang dalam televisi itu, ini bahaya, dunia semakin transparan, dan sulit disembunyikan apa yang ada dalam pikiran kita,’’ jelas Rektor ITB.
Lanjut Rektor, sekarang lagi dalam proses penemuan teknologi baru, kita melihat pojok ada gambaran Monas, tiba-tiba Monas itu kita print, jadi kita baying bayangkan kita, itu kita bisa print, ini kemajuan teknologi super semakin canggih semakin dahsyat.
‘’Nah Oleh karena itu jika Indonesia menuju 2045 dengan visi untuk menjadi nomor empat (4) di dunia maka diperlukan kualitas pertumbuhan 5 sampai 7%,’’ ujar Arif.
Sehingga menurutnya, untuk mencapai 5 sampai 7% dibutuhkan ekonomi dan SDM yang berkualitas, , hari ini 2024, 2025, 2026 adalah puncak bonus demografi , kalau salah menangani SDM 2024, 2025, 2026 sampai 2028, maka akan berdampak pada bagaimana pencapaian visi 2045 nanti.
‘’Ini adalah momentum kita harus belajar dari kegagalan negara-negara lain dalam mengelola bonus demokrasi demografi, Afrika Selatan Afrika Selatan negara-negara seperti Brazil yang dianggap gagal dalam menyiasati bonus demografi,’’ jelas dia.(rustam madubun)