Jumat, 18 Oktober 2019
Thontji Wolas Krenatk wartawan senior harian Suara Pembaruan saat diwawancara wartawan seusai menjadi motivator pada Orientasi Wartawan PWI Papua Barat, Senin (14 Oktober 2019) di Swiss-BelHotel Manokwari. FOTO: papuadalamberita.com/rustam madubun.
PAPUADALAMBERITA.COM. MANOKWARI – Angka-angka pada tanggal, bulan dan tahun kelahirannya serasi, tanggal 5, bulan 5, tahun 1955. Kini ia berusia 63 tahun, wajahnya segar, suaranya lantang, jalannya pun sangat tegap, Ia masih gagah, suka menebar senyum.
Pemilik nama lengkap Thontji Wolas Krenatk adalah sesepuh, guru, orang tua kami jurnalis di Manokwari Papua Barat. Ia Putra asli Papua pertama dalam sejarah peliputan sebagai wartawan di Istana Merdeka merupakan tempat resmi kediaman dan kantor Presiden Indonesia.
Wolas Ia suka disapa, bukan hanya anak Papua pertama yang menjadi wartawan peliput di Istana Merdeka, tetapi sampai sekarang belum ada lagi jurnalis asal Papua dan asli Papua menjadi wartawan yang bertugas di Istana Merdeka selain Ia, Wolas.
Bagiaman Ia yang mengawali karir sebagai jurnalis di The Tifa (kini Tabloid Tifa Papua dulu Tifa Irian) bisa menembus dinding Istana Merdeka menjadi wartawan kepresidenan?
Tangan dingin Bil Retoob tokoh dan jurnalis senior asal Irian Jaya adalah gurunya, Mingguan Tifa Irian menjadi kawahcandradimuka untuk Wolas menempa dirinya mengenal dunia Jurnalis dan pandai menulis, memotret dan bersiasat memperoleh liputan-liputan ekslusif yang mendebarkan. Perangainya sederhana, Ia tidak jumawa, walaupun sudah seabrek liputan berkelas dunia dilaluinya.
Kesederhanannya tergambar ketika ia tampil sebagai motivator bagi kami dalam acara Orientasi Wartawan yang dihelat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Papua Barat pada Senin 14 Oktober 2019 di Swiss-BellHotel Manokwari.
Berbatik coklat khas Papua lengan panjang Wolas tampil sebagai pembicara terakhir dari empat pembicara yang hari itu tampil. Ia tanpa basa-basi, tidak panjang mengurai kepribadian formalnya sebelum menjadi jurnalis walaupun Ia memilikinya.
Ia langsung berbagi cerita dan pengalaman menarik semasa menjadi jurnalis di Irian Jaya bagaimana meliput teriakan Papua Merdeka saat itu, sampai ceritanya menjadi wartawan istana merdeka Jakarta, bagaimana kedekatannya dengan Megawati Soekarnoputri sebelum menjadi Presiden, bagaimana awal Megawati menyapanya?
Kisah alumni Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Jayapura ini Ia ceritakan pada kami. papuadalamberita.com kembali merelase kisah Wolas dengan gaya bahasa bertutur saya, Ini ceritanya.
Ketika itu ia terinspirasi liputan- liputan wartawan di media TV yang meliput tentang krisis ekonomi Indonesia. Saya melihat kenapa mereka bisa saya tidak bisa para wartawan bersama-sama dengan presiden beritanya tersiar di koran-koran dan TV.
Saya pikir, di Amerika Presiden Kenedy, ada wartawan kulit hitam, ada wartawan kulit sawo matang, ada wartawan kulit putih. Saya punya cita-cita bahwa satu saat orang Irian akan menyaksikan anak Irian yang jalan bersama-sama dengan Presiden RI, dan itu terbukti.
Saya mulai karir di Mingguan Tifa Irian, satu waktu Harian Sinar Harapan (kini Suara Pembaruan) mencari anak Irian yang bisa menjadi wartawan untuk Sinar Harapan sebuah koran terbitan sore bersama-sama dengan Harian Kompas pada saat itu yang terbit di Jakarta.
Thontji Wolas Krenatk wartawan senior harian Suara Pembaruan saat diwawancara wartawan menjadi motivator pada Orientasi Wartawan PWI Papua Barat, Senin (14 Oktober 2019) di Swiss-BelHotel manokwari. FOTO: papuadalamberita.com/rustam madubun.
Mereka mencari keliling Jayapura bertanya kepada DPR, Gereja Kristen Injil (GKI) di Irian Jaya dan Gereja Katolik Keuskupan Jayapura. Bertemulah mereka dengan Uksup Jayapura, Bapak Uskup mengatakan kalau mau beli ada kami punya wartawan, tetapi nilainya sama dengan Platini pemain sepak bola Prancis yang sangat mahal pada waktu itu, Ia ada di Mingguan Tifa Irian.
Saya ditawarkan tetapi pada saat itu pimpinan redaksi Tifa Irian Bil Retob tidak mengijinkannya. Tidak, dia tetap bekerja di kami (Tifa Irian). Saya tidak tau dengan pasti, tapi surat itu datang dari Harian Sore Sinar Harapan mengangkat saya sebagai koresponden di Irian Jaya. Dan saya memulai itu dengan awal mengirim berita “Kekurangan Pangan Pedalam Jayawijaya” dan itu menjadi Headline News (berita utama di halaman pertama Harian Sinar Harapan) cerita ini disambut tepuk tangan riuh kami siang itu.
Ini saya cerita untuk motivasi bahwa saya bisa, saya melihat bahwa saudara-saudara yang lain bisa, kami juga bisa. Tetapi perjalanan sampai tahun 1986 Harian Sinar Harapan dibredel oleh pemerintah Indonesia.
Saya diminta ke Kompas, tetapi kemudian Sinar Harapan berubah nama menjadi Harian Suara Pembaruan mengirim surat kepada saya, jangan pindah kau tetap dan gajimu tetap kita bayar.
Saya bekerja di Sinar Harapan, tahun 1986-1987 kami terbit dengan nama Suara Pembaruan tanggal 4 Februari. Ini menjadi satu hal yang penting dalam kehidupan di Irian Jaya. Saat itu saya seorang diri, teman-teman saya di RRI orang asli Irian banyak.
Saya mengetik di mesin ketik yang peninggalan Belanda. Dulu saya waktu itu dibina oleh Bil Retob kami sering bercanda dengan Ia. Bil Retob adalah guru kami yang sangat baik dan sangat bermurah hati. Dialah yang menjadi guru bagi Doktor Peter Neles Tebai (almarhum).
Kemudian guru bagi mantan anggota DPR Papua Barat, Dance Bleskadit kemudian ada Jhon Hamburg, ada Niko Baru yang punya Kamundan. Dan saya yang pertama kali diterima di situ Mingguan Tifa Irian (The Tifa) dengan mengetik dimesin peninggalan Belanda.
Saya mengalami bagaimana mengatur huruf di percetakan dengan tangan di era itu masuk ke IBM, IBM lalu ke computer dan sekarang ini. Sekarang ini lebih cangih lagi, dulu kami pakai tulisan steno saat wawancara, kami belajar mencatat dengan cepat, berita kami tulis dibawah ke Telkom untuk diteleks ke Jakarta itu era yang saya mengalami.
Saya mengalami disintrogasi, pistol di testa saya mengalami itu, Ia menyebut nama seorang periwira yang berdinas di salah satu intitusi. Maaf kalau ada saudara-saudara bukan wartawan tapi bersama-sama dengan wartawan saat ini dari kesatuan kesatuan saya mohon maaf tetapi ini fakta.
Itu Akibat Tom Wanggai tokoh yang berteriak Papua merdeka mengibarkan bendera malanesia di Lapangan Mandala Jayapura.
Para wartawan dari PNG yang diambil posturnya pas dengan saya yang semua orang tau wartawan waktu itu hanya saya. Saya diintrogasi begitu hebat, saya katakan bahwa kalau saya memotret itu, bapak tidak usah takut karena saya anggota PWI. Anggota Persatuan Wartawan Indoensia. Saya mempunyai hak untuk itu, tidak ada larangan dari bapak untuk saya.
Saya dibawa, diintrogasi di Jayapura ada Aoptik Cenderawasih, disampingnya, ada tempat yang biasa mereka pakai introgasi, saya dinaikan di mobil, saat itu Ketua PWI Irian Jaya adalah Noch Hatumena.
Nohk bilang (katakan) saya dengan dialek Ambon, See (kamu) tidak takut ka? Saya bilang “Seng (tidak) beta (saya) juga manusia.
Sebelum saya diintrogasi pada saat itu, sang periwra katakana begini, mau kopi atau teh, saya tunggu slak (yang dipesan) dari perwira itu, Kopi, pak Hatumena teh, saya juga kopi.
Tiga orang, dua gelas kopi dan satu gelas teh. Saya pikir begini, pasti pak Hatumena tidak dikasih racun yang punya saya pasti dikasih.
Kemudian orang itu masuk ke kamar kecil, saya tukar kopi, gelas saya dengan gelas dia. Dia datang gelas sudah tertukar, yah kalau ada racun silahkan bapak minum. Dia panggil stafnya itu, ini ada racun tidak? Siap tidak ada racun.
Dia ngomong (bicara) banyak, tapi bapak mau mengambil klise foto (negatife film) dari saya, saya tidak akan kasih karena itu hak saya. Ini undang-undang pokok pers menjamin itu, kemudian saya balik (pulang), saya permisi mau pulang, dia bilang nanti dia antar, saya bilang tidak.
Nanti kalau diantar saya bisa dibuat susah. Ini penghalaman Irian Jaya di era Orde Baru. Saya keluar, disitu di belakang itu ada keluarga saya dan saya tinggal disitu.
Lalu senior saya, (wartawan Sinar Harapan) Soehendarto (almarhum) dia cari saya dan dia ketemu. Kami dua pergi dan menulis surat ke pimpinannya di Jakarta lalu perwira itu dipindahkan ke Maluku Utara.
Wolas bersama kami. FOTO: istimewa/papuadalamberita.
Dan saya bekerja dengan beliau (Hendarto baik). Tetapi beliau juga pernah diintrogasi gara-gara tulisan George Adijondro, saya jaga dia baik-baik untuk menghadapi masalanya. Saya bilang, bapak tidak usah takut, kami berdoa, hasilnya kasus itu aman-aman saja.
Cerita menjadi wartawan itu menarik, kita harus bangga, bahwa kita adalah budi bangsa. Hiburan, pendidikan, control sosial itu fungsi wartawan. Tapi wartawan itu adalah sahabat semua orang, kita dengan pejabat sampai dengan rakyat kecil.
Banyak nara sumber yang sering jalan lupa kita. Tapi itu ada cara, carilah wartawan siapa yang dekat dengan orang itu. Ada kata kunci lain juga, dia berasal dari etnis mana, pelajari latar belakang budayanya. Saya ketemu Pangdam XVII/Cenderawasih (waktu itu) Christian ketemunya di Airwasi.
Saya ceritra tentang kehidupan orang Nias di pedalaman Nias. Saya orang Nias tapi belum sampai di sana. Jadi bahas kata kunci untuk bisa membuka ceritra dengan orang lain.
Banyak wartawan dibeberapa media kadang-kadang wartawannya disuruh pergi tinggal di Jawa Tengah untuk belajar bahasa Jawa, sehingga kalau ada nara sumber dengan orang Jawa dia musti (harus) datang menyapa, selamat pagi, pie kabare pak itu salah satu tehnik.
Saudara-saudara yang terhormat, nara sumber kadang-kadang kita mencari juga dia punya kesukaan apa? Mungkin dia suka main bola, main tenis, makanan apa yang paling dia suka? Ini penting supaya komunikasi lancar.
Saya tidak menyombongkan diri, tetapi Tuhan memberi saya anak Irian Jaya pertama yang menjadi wartawan keperesiden RI di Istana Merdeka, sampai sekarang belum ada lagi. Ketika Megawati jadi presiden. Megawati ini agak susah (makusdnya susah diwawancarai wartawan), kalau datang dan kita tanya, Ibu bagaiman dengan konflik di Aceh? Oh itu Ibu Presiden jalan terus.
Tetapi saya punya cara lain, ketika Ibu Megawati menjadi anggota DPR RI di Fraksi PDI Perjuangan pertama kali ibu liat saya, ibu tanya, deh dari Irian ya? Ya saya dari Irian. Oh almarhum Bung Karno ayah Saya berpesan kalau orang dari Irian itu saya punya saudara, saya punya keluarga, jadi kamu adik saya.
Lalu saya dengan sopan, senang sekali, saya katakana kepada ibu, baik kalau begitu saya memanggil Ibu kakak, dan kami punya hubungan baik. Dan saya selalu memanggil “Kakak Mega” kata itu menjadi populer ketika Mega jadi presiden, Ia berkampanye untuk PDI dengan kata kaka Mega.
Jadi waktu dia presiden, saya selalu ditunggu teman-teman, walaupun saya dibagi giliran untuk tugas sore atau siang di Istana merdeka, tetapi mereka minta saya datang pagi, karena kalau Ibu liat saya pasti panggil Wolas..!!
Kalau sudah ketemu Kaka Mega, kami dua dulu cerita tentang Irian Jaya dan segala macam. Selesai baru saya minta ijin. Kaka presiden ini ada pertanyaan dari teman-teman. Baru teman-teman datang dengan baik dan pertanyaan ditulis kasih ke saya dan saya yang tanya ke Kaka Presiden.
Saya memahami apa yang ada di hati Ibu dan bertanya dengan baik. Biasa selesai wawancara Kaka Presiden, teman-teman bertanya ke saya, Wolas makan di mana? Kami yang traktir. Saya bilang tidak, terima kasih karena ini kebersamaan.
Ada satu liputan yang sangat menarik, Waktu ibu memberikan bantuan kepada TNI dan Polri Rp7 Miliar, lalu mereka katakana ke saya Rp7 Miliar ini untuk kesatuan semua atau bagaimana? Waktu itu Kami makan siang di ruang tamu VVIP Halim Perdana Kusuma (Jakarta) , lalu teman-teman bisik ke saya, kaka punya tas taru di sini nanti kami jaga. bagaimana kaka bisa wawancara ibu to? Maksudnya? Soal Rp7 Miliar itu.
Saya bilang makan dulu, ibu belum pergi. Datanglah Widodo AS (Menkopolhukam era Presiden Ke -5), Dia datang, begitu wartawan tanya (soal Rp7M) dia bilang Ora..ora..ora (tidak..tidak…tidak) dan dia langsung masuk kembali. Saya pikir ah ini barang gampang saja, Ibu belum keluar, tenang kalau ibu keluar nanti ada yang beri tahu saya.
Begitu ibu keluar, datanglah salah satu ajudan (Paspamrres), Wolas mau bicara sama ibu? Ia. Saya mau bicara dengan Kaka Presiden. Begitu ibu keluar liahat saya, Wolas bagaimana Irian, Ia, Oh baik, kapan Ibu mau pergi ke Irian? Kalau Ibu pergi saya ikut. Nanti kita pergi tapi kau harus ikut, terima kasih kaka presiden.
Kaka presiden ini teman-teman mau tanya, supaya luruskan sedikit. Apa itu? Itu uang tuju miliar ini nanti dibagi antara TNI dan Polri atau bagaimana? Oh tidak, masing-masing dapat tujuh miliar itu untuk kesejahteraan, dan bagaimana tindak lanjutnya.
Ibu bilang Widodo kamu kembali jelaskan ini barang. Baru yang tadi ora..ora.. (tidak..tidak) itu. Maaf ini pengalaman saya menjadi wartawan ada hal-hal yang perlu kita berbagi dengan saudara-saudara.
Bagiaman pengalaman Ia meliput kunjungan Presiden Megawati ke Jepang Tokiyo? Ini ceritanya: Waktu Tokyo sama dengan Papua, Pagi-pagi saya sudah turun duduk di bawah (maksudnya di Lobi Hotel) dimana mobil yang akan menjemput Presiden itu keluar saya tunggu diistu tunggu Ibu Presiden datang.
Saya duduk, datanglah Menteri Luar Negeri RI Hasan Wirayudha, kami duduk cerita. Kemudian Ibu datang saya tanya, Kaka bagaimana? Kok kamu bangun cepat? Ia Kaka Presiden waktu Tokyo sama dengan waktu Papua dan saya lebih cepat , karena saya mau tunggu Kaka Presiden, mungkin ada Pesan untuk orang Papua ka? Kemudian ibu jelaskan agenda apa hari ini saya rekam, Hasan Wirayudha juga memberi tahu lebih awal. Lalu saya pergi kirim berita, dan saya juga kasih tau teman RRI dan Antara kamu dua datang berita ada ini.
‘’Pengalaman yang paling terkesan menjadia wartawan ketika meliput kunjungan Sekjen PBB Kofi Annan ke Istana Negara,’’ ujarnya.
Semua wartawan di istana ketika itu tidak bisa menemui Sekjen PBB Kofi Annan yang akan bertemu presiden untuk menyampaikan hasil referendum Timor Leste yang sudah merdeka.
Hanya Ia yang berhasil bertemu Kofi Annan, itu menjadi pengalaman yang sangat bahagia dan luar biasa bagi seorang Wolas, wartawan sejati Indonesia.
Bersama Wolas, Senior jurnalis Papua Barat. FOTO: istimewa/papuadalamberita.com
Kisah untuk bertemu Sekjen PBB pun cukup rumit, karena Sekjen PBB dalam pengawalan super ketat, Ia tidak kehabisan akal, Wolas mendekati salah satu ajudan Sekjen PBB dan bertanya, kamu punya komandan yang mana? petugas menujuk salah satu orang yang berdiri agak jauh darinya, Wolas pun menyamparinya dan berbicara dan diberi ijin jumpa Sekjen.
Setelah jumpa Sekjen PBB Wolas menyapa dengan memakai bahasa inggris, namun tidak langsung ke materi wawancara, Ia sedikit menggoda Sekjen PBB beberapa kalimat pujian. Kemudian ia mengatakan kalau wartawan mau mewawncarainya, Sekjen pun menerimanya.
Kalau tidak ada pertanyaan lagi saya mau kasih tau sesuatu yaitu pesan Wolas kepada kami: Menjadi wartawan itu pekerjaan paling mulia dan terhormat. Hal berikut wartawan memiliki solidaritas yang sangat tinggi. Seorang pejabat meninggal tidak sehebo seorang wartawan dipukul, seluru dunia wartawan akan bersatu dan solideritas itu ada dimana-mana. Tetapi kita juga harus menjaga diri, pekerjaan ini sering mendatangkan bahaya.
Menyangkut hak pembelaan wartawan ada yang namanya saat dia sampai di Pengadilan dia tidak akan mengungkapkan siapa nara sumbernya, itu hak ingkarnasi.
Nasihat beriku: Kalau ada wawancara dengan seorang pejabt dia katakana of the record, jangan buang rekamannya, simpan rekamannya suatu ketika rekaman ini akan mempunyai nilai yang sangat berarti.
Kamu tulis kembali, ketika ada berita yang berkaitan dengan itu, menyimpan berita itu penting. Buatlah satu bank data, menyimpan semua berita-berita yang saudara punya.
Seorang tukang kayu tidak akan membuang sepotong kayu, tetapi dia akan simpan mungkin akan menjadi meja atau rak piring yang bagus. Terima kasih.
Walaupun kini Wolas tidak lagi seaktif dulu, namun talenta sebagai penulis masih terus mengalir, tulisannya bukan lagi news, tetapi goresan tinta emasnya berupa artikel masih menghiasi halaman Harian Suara Pembaruan, sebagai almamaternya.(rustam madubun)