Nama Kue ini dijumpai disetiap daerah termasuk di Manokwari, Papua Barat, namanya ya kue (p) kukis.
Rada-rada sexi kan, jika ucapnya kurang satu huruf belakang ceritanya ’bisa panjang’, tetapi soal rasa jangan ditanya, cukup menggoda, bikin lida kita terus bergoyang, hasilnya pun tidak tanggung-tanggung, lumayan besar.
‘’Saya jualan sejak pagi, jam enam sampai jam enam sore, sebelum magrib sudah pulang,’’ kata La Yudi kepada papuadalamberita.com.
Kue yang dijejer dalam kemasan plastik berisikan delapan potong dalam satu plastik. ‘’Satu plastik harganya Rp4.000, tapi kalau beli tiga plastik hanya Rp10.000, ‘’ ucapnya.
Dari penghasilnnya jualan kue, Yudi mampu membiayai delapan anak dari satu istri di yang kini tinggal di Buton Sulawesi Tenggara.
‘’Istri dan anak saya di Buton, anak saya ada delapan masih kecil-kecil, anak pertama baru SD kelas V,’’ jelas Yudi yang ditemui papuadalamberita.com di tempat mangkalnya Pasar Wosi, Manokwari, Papua Barat, Selasa (12/02/2019) sore jelang malam.
Ia tidak mau merinci jenjang pendidikan yang pernah Ia lewati. ‘’Nga usah pak tulis pendidikan saya, saya bersukur masih bisa kerja yang halal, berjualan kue (p) kukis,’’ sebut Yudi sambil tersenyum.
‘’Kenapa mas, namanya kuenya , kue (p) kukis)? ‘’Saya juga tidak tau pak,’’ ujarny sambil tertawa.
’Mas tau asal-usul nama kue ini? ‘’Tidak tau pak,’’ sambungnya masih sambil tertawa.
Yudi yang tinggal di Komplkes Maduraja, Wosi Manokwari ini mengaku dalam sehari Ia menghabiskan Kg6 tepung terigu, ditambah gula pasir, susu kaleng, santan kelapa, ada sedikit ragi, mentega untuk menambah kelezatannya adonanya diberi beberapa butir telur ayam.
‘’Ya resepnya tidak ada yang rahasia, siapa saja bisa buat, tempat pencetak (p) kukis) ini dijual di mana-mana mudah aja kok, ‘’ tambah Yudi setelah merinci adonannya.
Hasil penjualan dalam sehari Yudi tidak langsung menerima karena Ia menyetor ke majikannya, gajiannya dibayar perbulan, tetapi tergantung kebutuhan, Ia bisa memimnta panjar seminggu atau dua minggu lebih awal sebelum tanggal gajian.
‘’Alhamdulillah pak, gajinya lumayan, asal kita rajin kerja, mau bangun lebih awal untuk persiapan, ke pasar duluan dan mau sabar pulang sore, kadang laku semua, kadang masih sisa,’’ ceritra Yudi.
Untuk mempertahankan kualitas dan cita rasa, Yudi mengatakan jika adonan sisa yang tidak terjual, Ia tidak menyimpan atau pakai kembali pada keesokan harinya. Namun dibuang tidak di pakai.
‘’Yah kalau tidak laku adonya kita tidak pakai, besoknya adonannya harus baru, karena tepung, susu dan santan dircampur jadi satu tidak bertahan lama, rasanya nanti berubah dan asam,’’ rinci Yudi.
Lantas siapa pemilik kue yang cukup familier ini. ‘’ Ini kaka ipar saya punya, dia punya ada lima tempat penjualan, ada di Wosi tiga dan ada juga di Pasar Sanggeng, kami semua jual, nanti hasil jaualannya kami stor ke bos (maksudnya ke kaka iparnya,red),’’ terang Yudi.
Ia mengatakan usaha kue ini telah ditekuni kaka iparnya sejak tahun 2.000, sedangkan Ia baru menjual sejak dua tahun lalu. ‘’Siang saya jualan kue, malamnya, kalau tidak capek saya ngojek, cari tambahan untuk anak istri saya pak,’’ urainya.
Kata dia, siang berjualan di Pasar Wosi, malam ojek, Ia tidak pernah diganggu atau di kasari orang. ‘’Alhamdulillah pak, selama ini aman-aman saja. Saya jualan disini baik-baik saja, tidak ada yang menganggu,’’ kata Yudi.
Dari Hasil jualan kue dan ojek, Yudi mengatakan dua minggu sekali Ia kirim ke anak dan istrinya di Sulawesi. ‘’ Saya kirim anak-anak dan istri dua minggu sekali,’’ kenangnya.(rustam madubun)