
PAPUADALAMBERITA.COM. JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah
total lima lokasi di tiga kabupaten/kota di Provinsi Kepulauan Riau, Selasa
dalam penyidikan kasus suap terkait perizinan di Kepri dan gratifikasi yang
berhubungan dengan jabatan Gubernur Kepri nonaktif Nurdin Basirun.
“KPK melakukan penggeledahan di lima lokasi di tiga kota/ kabupaten di
Provinsi Kepulauan Riau,” kata Juru Bicara KPK Febri Diasnsyah di Jakarta,
Selasa.
Pertama di Kota Batam, tim KPK menggeledah dua lokasi, yakni rumah pihak swasta
Kock Meng dan rumah pejabat protokol Gubernur Kepri.
Kedua di Kota Tanjung Pinang dilakukan penggeledahan di kantor Dinas
Perhubungan Provinsi Kepri dan rumah pribadi tersangka Budi Hartono yang
merupakan Kepala Bidang Perikanan Tangkap Provinsi Kepri.
Terakhir di Kabupaten Karimun, tim KPK menggeledah rumah Gubernur Kepri
nonaktif Nurdin Basirun.
Dari sejumlah lokasi tersebut, kata Febri. KPK mengamankan dokumen-dokumen
terkait perizinan.
“Penggeledahan masih berlangsung, kami harap pihak-pihak di lokasi dapat
bersikap kooperatif agar proses hukum ini berjalan dengan baik. Perkembangan
kondisi di lokasi akan kami sampaikan lagi,” ucap Febri.
Ia menyatakan penggeledahan tersebut dilakukan sebagai bagian dari proses
penyidikan dugaan suap terkait perizinan dan dugaan gratifikasi yang diterima
oleh Nurdin Basirun.
KPK pada 11 Juli 2019 telah mengumumkan empat tersangka dalam kasus itu, yakni
Gubernur Kepri 2016-2021 Nurdin Basirun (NBA), Kepala Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Kepri Edy Sofyan (EDS), Kepala Bidang Perikanan Tangkap
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepri Budi Hartono (BUH), dan Abu Bakar
(ABK) dari unsur swasta.
Selain itu, KPK juga menetapkan Nurdin sebagai tersangka penerima gratifikasi
yang berhubungan dengan jabatan.
Untuk kasus suap, Nurdin diduga menerima 11 ribu dolar Singapura dan Rp45 juta
terkait suap izin prinsip dan lokasi pemanfaatan laut, proyek reklamasi di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Kepulauan Riau Tahun 2018/2019.
Nurdin menerima uang dari Abu Bakar baik secara langsung maupun melalui Edy
Sofyan dalam beberapa kali kesempatan.
Adapun rincian yang diterima Nurdin, yaitu pada 30 Mei 2019 sebesar 5.000 dolar
Singapura dan Rp45 juta. Kemudian pada 31 Mei 2019 terbit izin prinsip
reklamasi untuk Abu Bakar untuk luas area sebesar 10,2 hektare.
Kemudian pada 10 Juli 2019, Abu Bakar memberikan tambahan uang sebesar 6.000
dolar Singapura kepada Nurdin melalui Budi Hartono.
Sementara terkait gratifikasi, tim KPK mengamankan uang dari sebuah tas di
rumah dinas Nurdin dengan jumlah masing-masing 43.942 dolar Singapura, 5.303
dolar AS, 5 euro, 407 ringgit Malaysia, 500 riyal, dan Rp132.610.000.
Sebagai pihak yang diduga penerima suap dan gratifikasi, Nurdin disangkakan
melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP.
Selanjutnya, sebagai pihak yang diduga penerima suap Edy dan Budi disangkakan
melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11, Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan sebagai pihak yang diduga pemberi Abu Bakar disangkakan melanggar
Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tlndak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.(ant)