Ditulis oleh Rina Maryati, S.P
Pandemi Covid-19 yang mulai terjadi di penghujung tahun 2019 membawa banyak sekali perubahan sistem di dunia. Di Indonesia sendiri, sejak awal tahun 2020 juga terjadi perubahan cukup besar, utamanya dalam dunia pendidikan. Adanya pandemi mengharuskan dilakukannya belajar dari rumah ataupun pembelajaran jarak jauh. Dan fenomena yang banyak terjadi, tak sedikit sekolah yang gagap menghadapi pembelajaran di masa pandemi. Bahkan ada yang terpaksa kehilangan beberapa muridnya dan merumahkan para gurunya.
Hal tersebut tentunya banyak menuntut banyak pihak, terutama pemimpin lembaga pendidikan harus mendesain ulang program pembelajarannya sehingga kebutuhan para peserta didik tetap terlayani dengan baik. Pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah proses pendidikan pasca pandemi ini akan berlanjut?
Pendidikan sejatinya merupakan upaya mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat di suatu bangsa. Pendidikan yang berkualitas dapat memperlihatkan kemajuan suatu masyarakat di suatu negara. Pendidikan ini tidak dapat terpisahkan dari lembaga pendidikan yaitu sekolah. Dalam konteks satuan pendidikan, berarti tujuan yang dicapai dari serangkaian proses pendidikan adalah kebahagiaan dan kesejahteraan para siswanya (student wellbeing).
Keberhasilan pendidikan dalam mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi para siswanya, tentu membutuhkan suatu perubahan sistem pendidikan, terutama dalam hal keleluasaan dan kemandirian dalam proses pembelajaran. Sistem pendidikan di Indonesia saat ini masih menghadapi berbagi tantangan yang cukup kompleks dalam menjawab kebutuhan tersebut. Untuk itulah, Kemdikbud mengeluarkan kebijakan merdeka belajar, sejak penghujung tahun 2019.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah yang membedakan Kurikulum Merdeka dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya? Perubahan asasi dari Kurikulum Merdeka ini yaitu bahwa proses pembelajaran lebih berorientasi kepada proses, bukan lagi hasil. Salah satunya adalah dengan mulai dihapuskannya Ujian Nasional dalam pelaksanaannya.
Tentang makna dari konsep “merdeka belajar”, dari beberapa literatur yang telah dikaji, penulis mendapat kesimpulan bahwa inti dari konsep merdeka belajar memberi kebebasan pada peserta didik untuk berpikir dan berkreasi. Merdeka belajar akan mengajak peserta didik untuk berpikir dari berbagai aspek dan sudut pandang terkait suatu permasalahan. Selain itu, merdeka belajar juga membebaskan peserta didik dalam berkreasi sesuai dengan minat masing-masing. Implikasi dari semua itu, maka suasana hangat, nyaman dan damai di kelas akan dapat tercipta. Dari sinilah diharapkan terciptanya kebahagiaan dan kesejahteraan peserta didik dalam belajar.
Keleluasaan, kemandirian, maupun kebebasan dalam belajar merupakan suatu hal yang harus bisa dipahami dengan baik, terutama oleh para guru sebagai pendidik dan merupakan sosok pengontrol proses pendidikan. Akan tetapi, kondisi saat ini masih banyak guru maupun peserta didik bahkan pelaku pendidikan lainnya belum memiliki keleluasaan dan kebebasan yang cukup untuk menentukan arah dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah. Bisa dipahami jika ini sebagai salah satu imbas dari sistem pendidikan yang selama sekian puluh tahun dikembangkan sebelumnya dengan berbasis sentralisasi dalam pelaksanaannya.
Untuk menunjang keberhasilan dalam perubahan-perubahan yang dilakukan dan diharapkan dalam pelaksanaan merdeka belajar, perlu dimulai dari peningkatan kompetensi kepala sekolah sebagai figur sentral di sekolah dalam memahami serta menguasai kompetensi dasar dari para guru. Untuk itulah peranan kepemimpinan kepala sekolah penting dalam menjadikan guru sebagai penggerak proses pembelajaran dalam upaya mewujudkan merdeka belajar di sekolah. Namun demikian, masih banyak kepala sekolah yang belum siap mengikuti berbagai perubahan atau menerapkan ide-ide baru di sekolahnya.
Kenapa peran kepala sekolah sangat penting? Karena kebijakan merdeka belajar menuntut adanya banyak perubahan dan penyesuaian dalam proses pembelajaran. Dalam merdeka belajar, tetap ada kebijakan atau aturan baku sebagai kebijakan dari pemerintah pusat, namun satuan pendidikan, dalam hal ini kepala sekolah sebagai pemimpinnya, diberikan keleluasaan dan kebebasan untuk membuat desain proses pembelajaran di sekolahnya. Di sinilah mau tidak mau, dibutuhkan pemikiran, kreativitas, dan inovasi dari kepala sekolah beserta para pendidik agar program merdeka belajar ini berjalan dengan baik dan sukses.
Kenapa harus kepala sekolah? Karena kepala sekolah sebagai pemimpin penggerak utama roda sekolah. Dengan kata lain, hitam putihnya sekolah ada di tangan kepala sekolah. Berbagai fenomena di dunia telah bisa dijadikan catatan sejarah, bahwa sehebat apapun sebuah pasukan atau secanggih apapun sebuah sistem, dipastikan akan gagal mencapai tujuan manakala tak memiliki komandan (pemimpin) yang cakap.
Berapa banyak institusi bisnis kelas dunia yang pernah berjaya di masa lalu, kini terseok-seok bahkan nyaris kolaps karena gagal menemukan pemimpin yang andal, terlebih gagap terhadap terhadap perubahan. Sebut saja merek-merek terkenal seperti Nokia, Blackberry atau Yahoo yang sudah di ujung tanduk karena tak responsif dan adaptif terhadap perubahan yang terjadi dan seringnya tak bisa diduga sebelumnya.
Pembahasan mengenai kepemimpinan kepala sekolah dalam era merdeka belajar, mau tak mau juga menuntut para pemimpin pendidikan mengganti “kaca mata” pendidikan mereka. Paradigma tentang kepemimpinan bisa kita coba analisis dari ilustrasi berikut.
Konsep lama kepemimpinan, seperti ditunjukkan dalam lomba dayung, yaitu bercirikan : (1) posisi pemimpin lebih tinggi; (2) anak buah bekerja harus sesuai dengan perintah; (3) anak buah tidak boleh protes atau memberi masukan; (4) semakin air tenang maka perahu akan semakin cepat lajunya; dan (5) tidak ada proses promosi, mutasi dan demosi.
Konsep baru kepemimpinan, digambarkan seperti lomba arung jeram, yang bercirikan : (1) posisi pemimpin bisa di mana saja sesuai kenyamanan dan kebutuhan; (2) perahu karet bila dipakai di air tenang jalannya akan lambat, untuk itu perlu adanya motor (teknologi pendukung) agar lajunya semakin cepat; dan (3) adanya proses promosi, mutasi, maupun demosi.
Dari ilustrasi di atas, maka menjadi suatu keniscayaan bahwa tiap kepala sekolah harus mulai berani dan mau keluar dari zona nyaman. Karena di beberapa hasil kajian dapat disimpulkan bahwa kegagalan kepala sekolah dalam mengembangkan sekolahnya bukan hanya disebabkan oleh kurangnya fasilitas, tapi lebih banyak disebabkan oleh kurang optimalnya kepemimpinan kepala sekolah dalam memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Kekurangoptimalan ini bisa jadi disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan ketrampilan sebagai pemimpin sekolahnya.
Berdasar dari pernyataan di atas, maka sudah menjadi suatu kebutuhan untuk memenuhi keberhasilan kebijakan merdeka belajar ini, bahwa setiap kepala sekolah harus berusaha meningkatkan ataupun ditingkatkan kapasitas kepemimpinannya. Kepala sekolah harus memberikan perhatian yang cukup tinggi terhadap peningkatan kualitas pendidikan di sekolahnya. Perhatian tersebut harus ditunjukkan dalam kemauan dan kemampuan untuk mengembangkan sekolah secara optimal.
Wujud dari hasil pengembangan kapasitas kepemimpinan tersebut, maka kepala sekolah sebagai pemimpin selayaknya harus lebih berorientasi pada masa depan. Kepala sekolah mesti memiliki komitmen untuk dapat “melihat dan bermimpi”, “mengubah”, serta “menggerakkan” segala sumber daya yang dimiliki ke arah tujuan yang direncanakan.
Komitmen pertama adalah melihat dan bermimpi. Hal ini berkaitan dengan tugas kepala sekolah sebagai seorang arsitek sekolahnya, pembangun masa depan sekolah. Kepala sekolah diharapkan mampu membangun sebuah mimpi masa depan yang tetap berpijak pada realitas yang ada saat ini. Dalam membangun mimpinya, tak lagi terkendala oleh masalah-masalah yang ada, akan tetapi menjadikan segala aset atau sumber daya yang dimiliki untuk mengatasi segala permasalahan yang ada.
Komitmen kedua adalah mengubah. Perubahan kebijakan kurikulum nasional mengharuskan semua lembaga pendidikan segera melakukan penyesuaian. Kepala sekolah sebagai pemimpin tentunya harus membimbing para gurunya sehingga mampu segera beradaptasi dengan perubahan tersebut. Pemimpin yang baik akan membimbing anak buahnya dengan rasa hormat, cinta, dan penuh perhatian.
Komitmen ketiga adalah menggerakkan. Menggerakkan di sini bisa diilustrasikan dari konsep bermain golf, di mana sebelum memukul bola golf, perlu terlebih dahulu menentukan arah, mengukur jarak dan kekuatan sehingga jatuhnya bola bisa tepat. Demikian pula dalam kepemimpinan, kepala sekolah harus berpikir terlebih dahulu mengenai arah yang akan ditempuh untuk mencapai visi, kemudian memperkirakan berapa jauh impian itu harus dicapai dan barulah melakukan tindakan-tindakan yang tepat.
Pada akhirnya, untuk menjadi pemimpin sekolah yang berwawasan merdeka belajar, tentu tak bisa dihasilkan hanya dengan beberapa kali diklat atau kursus. Perlu banyak latihan langsung secara nyata di sekolah masing-masing. Dan hasil akhir sejatinya yang harus diwujudkan adalah terpenuhinya segala kebutuhan peserta didik dengan baik, menuju terwujudnya student wellbeing. (tri)
Penulis : Rina Maryati, S.P
Kepala Sekolah Penggerak Angkatan I (SDIT Insan Mulia)
Saat ini sebagai mahasiswa Program Magister Manajemen Pendidikan FKIP Uncen Jayapura