Buku Paulus Waterpauw Jilid Dua (2) yang ditulis dua wartawan. FOTO: RUSTAM MADUBUN.PAPUADALAMBERITA.
PAPUADALAMBERITA.COM. MANOKWARI – Tatkala cahaya terlihat suram atau remang-remang, memang bukanlah kekuatan cahaya yang tidak kuat atau pudar, melainkan ada hal-hal lain yang menghalangi cahaya tersebut.
Begitu pula kilau benda yang sejatinya terang, namun terhalang debu, maka benda tersebut tak akan terlihat sebagaimana aslinya.
Di benak Paulus Waterpauw, Papua pun seperti itu, itulah tulisan Ensa Wiarna dan Rudi Hartono dalam buku *Biografi dan jejak pemikiran Paulus Waterpauw, mengabdi dengan hati jilid dua (2).
Berbagai potensi yang tersimpan di tanah Papua, bisa tidak terlihat tatkala masih banyak debu, kabut, bahkan asap yang menghalangi cahaya terang yang menyinari Papua.
Debu, kabut, bahkan asap yang membungbung tinggi di Papua seperti yang terjadi pada paruh kedua tahun 2019 di Papua, diterpa angin berita yang mudah merasuki relung hati siapapun di Nusantara bahkan dunia.
Begitu pula tatkala terjadi pembakaran di Jayapura, pasca bentrokan mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya sekitar Agustus-September 2019, setelah merembet dan berujung kerusuhan di berbagai wilayah di Papua.
Suasana mencekam telah memanaskan suhu politik dan iklim kehidupan masyarakat Papua dibumbui kepulan asap di Jayapura akibat pembakaran yang dilakukan demonstran sebagai aksi menyikapi bentrokan di Jawa, mengepulkan asap yang membumbung tinggi sehingga mudah terlihat siapapun.
Asap yang mengepul, lantas merasuki berbagai saluran informasi, tak pelak bagi asap pun akan menyesakkan dada setiap pihak yang berkenaan dengan peristiwa tersebut. Memang, lazimnya di era informasi teknologi yang tak mengenal sekat, peristiwa itu pun mudah mencuat ke panggung nasional dan internasional.
Kala itu, pembakaran sejumlah bangunan di pelabuhan Jayapura, kota Jayapura, Papua pun mengepulkan asap ke seantero negeri. Asap tebal yang membungbung di langit Jayapura (29/8/2019), tentu mendapat respon dari berbagai pihak.
Kapolri pun menugaskan Irjen Paulus untuk menjadi Ketua Tim Asistensi Mabes Polri untuk menangani berbagai masalah kerusuhan di provinsi ini. Kemudian, seterusnya Sang Jenderal kelahiran Bumi Cendrawasih tersebut diangkat kembali menjabat Kapolda Papua yang kedua kalinya.
Layaknya sebuah pepatah ‘ada asap karena ada api!’ Penanganannya pun tak semata-mata memadamkan api, melainkan mengurai penyebab dan kemudian berupaya mengatasi berbagai permasalahan yang terikat dengan peristiwa kerusuhan tersebut.
Asap di Jayapura yang timbul karena api luapan emosi, tak sekedar membutuhkan air numpas panas, melainkan penyejuk hati. Di situlah, Sang Jenderal Paulus, seperti halnya mengatasi berbagai permasalahan sebelumnya di Papua senantiasa berupaya lebih mengedepankan sisi-sisi kemanusiaan sebagai makhluk Tuhan yang memiliki akal budi.
Kiprah Sang Jenderal, bergegas membantu para pengungsi dan korban dari berbagai kerusuhan baik yang sakit maupun yang meninggal, seperti yang dilakukan di Wamena, Jayapura, dan Sentani. Baru kemudian fokus pada upaya rekonsiliasi dan rehabilitasi.
Baginya, jabatan ini adalah amanah yang harus dipastikan kepada bangsa dan negara sebagai wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tatkala suatu permasalahan dipandang secara komprehensif maka cakrawala yang dipandang pun akan sangat luas titik oleh karena itu pula, langkah-langkah penyelesaian pun membutuhkan banyak pihak titik demikian pula yang dilakukan seperti ketika menghadapi permasalahan akibat peristiwa Malang dan Surabaya yang kemudian merambah ke tanah Papua.
Untuk menuntaskan permasalahan di Papua saat itu, ia lakukan dengan membangun sinergitas dengan berbagai pihak, bekerja sama, dan sama-sama bekerja sangat penting karena permasalahan yang dihadapi cukup kompleks yang tidak semata-mata persoalan keamanan belakang, namun juga masalah-masalah lainnya, termasuk kesenjangan sosial.
Setelah langkah ‘Cipta kondisi’, yang pertama dilakukan, Sang Jenderal mengadakan dialog baik secara antarpersonal seperti dengan para tokoh, juga dengan banyak pihak, seperti dialog-dialog yang dihadiri berbagai elemen masyarakat. Langkah-langkah tersebut dilakukannya karena sadar betul ‘bermula dari kata’.
Kekuatan kata-kata ia maksimalkan sebagaimana peribahasa, bahwa Mulutmu adalah harimaumu. Kata-kata yang terucap bisa meredam, menghibur, bahkan menerkam!
Dialog lintas elemen dilakukannya dihadiri, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama tokoh pemuda, keamanan, Pemda provinsi, kabupaten, kota melalui dialog seperti itu kondisi berangsur pulih, tercipta keadaan seperti sedia kala titik akhirnya, masyarakat merasa aman, nyaman beraktivitas sehari-harinya.
Cover halaman dalam buku Paulus Waterpauw Jilid Dua (2) yang ditulis dua wartawan. FOTO: RUSTAM MADUBUN.PAPUADALAMBERITA.
Baginya, menciptakan kondisi masyarakat yang kondusif tidak semata-mata hanya untuk sesaat, namun untuk jangka panjang, bahkan seterusnya. Oleh karena itu, penegakan hukum atau aturan tetap dilakukan sesuai dengan peraturan yang ada titik Sang Jenderal tetap menjunjung tinggi rasa keadilan di masyarakat.
Oleh karena itu, yang bersalah tetap harus mendapat hukuman titik Siapa yang menabur angin, ia pula yang akan menuai badai akibat perbuatannya. Langkah itu pula yang dilakukan dengan memproses pihak-pihak yang bersalah sesuai dengan kadar keterlibatan dan perbuatannya.
Lalu, untuk melokalisasi permasalahan ini, ia pun beberkan peristiwa tersebut Berdasarkan informasi yang akurat. Kemudian, tafsiran peristiwa yang ia sodorkan sesuai dengan fakta. Sang Jenderal sangat paham, peristiwa apapun, bisa dipelintir untuk kemudian memasuki wilayah-wilayah politik. Itulah yang ia tepis agar tak terjadi di Papua.
Cara pandang Sang Jenderal yang ‘berkepribadian’ multietnis Nusantara, menambah kekuatan dirinya. Dia paham betul berbagai karakter dan adat istiadat antara lain Jawa dan Papua.
Di titik tumpu seperti itu, ia merasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena ditakdirkan melakoni kehidupan di Jawa khususnya di Surabaya, yang sekaligus berkesempatan mendapatkan pendidikan seperti di tempat dibesarkannya yaitu Surabaya dan sekitarnya.
Tatkala peristiwa yang notabene beririsan pada dua kelompok budaya (Jawa dan Papua), Ia pun memiliki kemampuan untuk memahaminya.
Rasa keingintahuannya akan adat istiadat setempat, seperti di Papua, ia buktikan dengan seringnya berkunjung ke daerah-daerah terpencil sekalipun. Tentu ini pun dibarengi rasa tanggung jawab moral juga sebagai salah satu bagian dari Putra daerah Papua.
Karena itu pula, saat terjadi peristiwa (kerusuhan) yang melibatkan mahasiswa Papua di Malang, Ia pun diminta, turun ke lapangan, menyapa dan berdialog dengan pihak-pihak yang terkait.
Lalu, Sang Jenderal pun sangat menyadari, Suatu peristiwa terjadi bukan hanya satu faktor, tapi bisa dari berbagai faktor. Sehingga, seperti percikan api, akan mudah membakar tatkala mengenai benda-benda yang tipis, rapuh, bahkan kering. Hal itu bisa terjadi di manapun dan kapanpun.
Dalam konteks tersebut what next?, Sang Jenderal selalu berupaya agar jejaknya di tempat bertugas ko mati dan semata-mata bermanfaat ketika ia berada di sana, melainkan meninggalkan jejak yang bermakna setelah ia melaksanakan suatu tugas tersebut.
Artinya dalam upaya menciptakan kondisi keamanan di Papua Iya barengi dengan kegiatan yang memiliki jangkauan yang lebih luas, semisal membantu masyarakat meningkatkan kapasitas pendidikan dan kemampuan ekonominya.
Salah satu bentuk kegiatannya, adalah menciptakan program Polisi Pi Ajar (polisi pergi mengajar, red). Program ini adalah bentuk kesadaran bahwa kebodohan dan kemiskinan, merupakan ‘ancaman’, bagi siapapun dan akan berdampak pada keadaan yang selalu suram titik karena itu, tatkala menepis cahaya suram bukanlah menghilangkan cahaya, melainkan, menepis hal-hal yang menghalangi cahaya tersebut sampai ke objeknya.
Di titik pandang inilah, Papua harus tetap bersinar, karena awan dan asap telah disingkirkan oleh kiprah kualitas SDM Papua yang lebih baik. (rustam madubun) *