DARI KANAN: Gubernur Papua Barat Drs Dominggus Mandacan MSI, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Kapolda Sumatera Utara Irjen Pol Paulus Watarepau, dan Irjen Pol Martuani Sormin saat peresmian Gedung Kantor Polda Papua Barat Senin (29/1/2018). PAPUADALAMBERITA. FOTO: RUSTAM MADUBUN
Paulus sadar, ayahnya memberikan pelajaran agar berani dan percaya diri. Ia pun selalu ingat kata-kata ayahnya, bahwa anak lelaki Apalagi Si sulung harus kuat untuk menjadi tulang punggung dan kebanggaan keluarga.
PAPUADALAMBERITA.COM. MANOKWARI – Deputi Bidang Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan BNPP Komisari Jenderal Polisi (Pur) Drs Paulus Waterpauw yang sekali menjabat Wakapolda, dan empat kali menjadi Kapolda bakal mengurus pemerintahan di Provinsi Papua Barat mulai 12 Mei 2022 hingga 2024, menyusul berakhirnya masa jabatan Gubernur Papua Barat Drs Dominggus Mandacan MSI dan Wakil Gubernur Papua Barat Mohamad Lakotani SH, MSI.
Anak rantau dari Fakfak, Irian Jaya (kini Papua Barat, red) yang besar dan sekolah di Surabaya (Jawa Timur) punya banyak kisah menarik dan unik hingga menyandang bintang tiga dipundaknya.
Dari Fakfak menuju Surabaya keberanian itu datang dari sang ayah itulah kenangan Paulus Waterpauw tentang penggalan kisah masa kecilnya.
Paulus lahir di Fakfak Papua Barat 25 Oktober 1963 menginjak usia tujuh (7) tahun saat itu pada tahun awal 1970-an ketika ia menginjak awal usia sekolah dasar di Karas seringkali diajak ayahnya Berburu ke hutan atau berlayar mengarungi lautan.
Di mata Paulus, ayahnya sebagai polisi sepertinya tidak mengenal kata lelah. Di sela-sela tugasnya sebagai penjaga keamanan masyarakat, sang ayah bisa pergi ke hutan membawa tombak atau parang. Senjata semacam itu pula yang dibawa Paulus sambil mengendap-ngendap di belakang ayahnya. Sang ayah berburu apa saja yang bisa dimakan dan laku dijual.
Bila sang Ayah ini ‘rajin’ berburu, bukan karena hobi atau kesenangan belaka, namun memang benar-benar karena tuntutan hidup. Gaji polisi berpangkat Sersan Satu (Sertu) jauh dari memadai untuk mencukupi kebutuhan sekeluarga sang Ayah, Sertu Ferdinand Waterpauw, tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga untuk waktu sebulan bila hanya mengandalkan gajinya.
Kadang-kadang begitu terima gaji langsung habis untuk memenuhi keperluan sehari-hari terpaksa harus memuat pada koperasi kantor begitu Terima kasih uang hanya mampir sebentar di telapak tangan ayahnya lalu beberapa menit kemudian pindah ke tangan pihak lain ibunya yakomina Atiyah Muna rumah tangga merasakan Betapa sulitnya mengurus mengurusi anak-anak yang masih kecil-kecil Oleh karena itu sang Ibu pun bisa mencari tambahan makanan dari kebun atau hutan untuk sekedar membantu suaminya.
MENEMBUS RIMBA MENANTANG GELOMBANG.
Keluarga Waterpau pindah pindah tempat tinggal. Pada saat tinggal di pulau Karas ayahnya bertugas sebagai penjaga pos. Di tempat ini beberapa petugas kurang lebih ada enam atau tujuh orang menjaga keamanan. Palus pun merasakan kedekatan hubungan emosional diantara penghuni pulau tersebut. Para polisi yang umumnya lebih muda dari ayahnya Ia panggil “Om “pamannya sendiri.
Bagi Paulus tak ada tempat bermain, selain hutan dan pantai di sana tidak ada bangunan, kecuali mercusuar yang terletak di pantai yang menghadap ke laut lepas.
Tempat tinggal Paulus kecil, dekat dengan hutan, laut, lingkungan seperti itu pula yang menggambarkan Paulus pada belantara dan gelombang laut Sejak saat itu ia merasa bahwa alam sekitar, selain memberikan anugerah juga mengisyaratkan perlunya berhati-hati dan berjaga-jaga di setiap keadaan.
Ketika berjalan menerobos hutan, Ia mesti pasang mata dan telinga, mengincar buruan dan berjaga-jaga, kalau-kalau menjumpai bahaya. Sikap kehati-hatian seperti itulah, yang selalu tertanam dalam hati dan pikirannya.
Kadang-kadang berburu pun berombongan. Sekali waktu Paulus ikut berburu bersama ayahnya yang ditemani beberapa anggota polisi lainnya. Tidak hanya membawa senjata tetapi juga anjing pemburu. Anjing yang saat itu Kurang lebih 12 ekor, memang hewan yang terlatih yang biasa dijadikan pelacak dan penyergap mangsa.
Keluarga Paulus pun mempunyai dua ekor anjing herder jantan yang diberi nama si Puji dan si Timor. yang disebut pertama, mengingatkan kepada seseorang yang suka sekali ingin dipuji puji dan selalu membanggakan diri. Si timor karena saat itu nama timor sedang menjadi pembicaraan apalagi di kalangan aparat keamanan seperti polisi. Timur yang sekarang Timor Leste, sedang menjadi topik pembicaraan dan perhatian banyak pihak sehubungan dengan proses integrasi nya dengan Republik Indonesia.
Kedua anjing itu sering menemani pemburu karena memang dilatih untuk berburu. Pakai beranian hewan itu, Ayah Paulus pun sering memberi makanan dengan terlebih dahulu diberi ramuan-ramuan khusus yang menyebabkan anjing peliharaannya tidak mengenal takut.
Pada suatu pada suatu waktu, ketika di hutan, di tengah-tengah pepohonan pala, anjing-anjing itu menggonggong bersahutan. Dari tempat tersembunyi Palus mengendap-ngendap sambil memegang Parang, senjata satu-satunya yang Ia pegang saat berburu.
Paandangan Paulus fokus ke depan. Dari jarak belasan langkah terlihat daun-daun pala bergoyang kencang. Jelas, bukan karena terpaan angin, melainkan karena goyangan ranting dan daun akibat serudukan hewan yang ada di sekitarnya. Paulus tahu betul, disana ada babi hutan, hewan buruannya yang marah atau mungkin ketakutan mendengar suara anjing yang terus menggonggong.
Belum sempat melihat dengan jelas binatang apa yang datang, gonggongan anjing semakin terdengar mendekat ke arah hewan itu. Dan, terlihat pula goyangan semak-semak semakin kencang. Tiba-tiba muncullah kepala babi hutan beberapa langkah darinya. Saat itu, paulus tengadah ke atas menggelantung pada pohon menghindari terjangan babi.
Sangking takutnya, mencengkram kan kedua jari-jari tangannya. ia tidak mau lepas, walau kelingking dan jari manis tangan kanannya terasa perih. Untung, pemburu lainnya segera datang menolongnya.
Ketika sudah dibawa, ternyata tangannya berdarah pasalnya, Ia tidak sadar ko manset tangan kanannya sedang memegang parang ketika meloncat menggapai dahan pohon. Saat itu pegangan nya sedikit bergeser ke bagian parang yang sudah menajam sehingga melukai jarinya.
Paulus jarang memiliki waktu luang untuk kesenangannya sendiri. Ia lebih sering mengisi hari-harinya di rumah membantu meringankan beban pekerjaan rumah tangga. mencuci baju, bersih-bersih di sekitar rumah, biasa Ia lakukan.
Ia biasa pula mengasuh adik – adiknya yang masih kecil saat itu, Ia mempunyai empat (4) adik, Marta Waterpauw, Frans Waterpauw, Lina Waterpauw dan Cristianos Waterpauw. Seorang lagi, yang paling kecil, lahir ketika Paulus sudah berpindah ke Surabaya.
Ketika mendapingi Kapolri Jenderal MH Tito Karnavian, Kapolda Sumatera Utara Irjen Pol Paulus Watarepau foto selfie bersama polisi cilik binaan Ditlantas Polda Papua Barat saat peresmian Gedung Kantor Polda Papua Barat Senin (29/1/2018). PAPUADALAMBERITA. FOTO: RUSTAM MADUBUN
Selain berburu, menangkap ikan di laut pun menjadi kebiasaan waktu kecil. tentu, ayahnya pula yang menanamkan kebiasaan dan melatih kepandaian Paulus menangkap ikan.
Untuk menangkap ikan, keluarga Paulus pun mempunyai perahu layar kecil dengan peralatan seadanya. seperti layarnya, terbuat dari kain yang seadanya, atau dengan memakai karung bekas terigu.
Paulus ingat betul, bawah karung beras terigu tersebut didapat ayahnya secara cuma-cuma dari koperasi kantornya. Bekas karung terigu yang masih berupa kantung kemudian digunting agar terbuka lebar.
Kemudian beberapa karung yang telah dibuka serupa, dijahit dengan benang seadanya. itulah layar sebagai penahan terpaan angin yang kemudian membawa perahu Paulus kecil ketujuan.
Waktu yang paling bagus menangkap ikan, malah . Mengambang di permukaan. Dengan diterangi , ikan mudah terlihat.
Alatnya, cuma terbuat dari kawat lancip Adam,yang kemudian memakai pegangan. Dengan alat itu ayahnya kerap mendapatkan ikan bukan hanya untuk keperluan keluarga, tetapi sebagian bisa dijual pada orang lain.
Paulus pun tidak sekedar ikut, tapi juga membantu. Kadang ayahnya yang mendayung, kadang ia sendiri yang mendayung dengan dayung berukuran lebih kecil dari pada dayung yang biasanya dipakai.
Gerakan menangkap ikan, bagi Paulus cukup menyenangkan. Apalagi bila hal itu dilakukan pada malam hari. Dengan diterangi lampu petromak, ayah dan anak melaju ke tengah lautan. riak ombak yang di sinari lampu, membangkitkan harapan. Karena, di permukaan air laut seperti itu , banyak ikan yang dijumpai atau seperti sengaja mendatangi cahaya lampu.
Pernah suatu ketika ia merasakan dinginnya air laut malam hari. Saat itu, di keremangan sinar lampu petromak, terlihat ikan di dekat permukaan.
Semangatnya, Paulus pun menusuk senjatanya. Mata kawat menancap di badan ikan, dan hewan air ini pun meronta. Paulus yang sedang di pinggir perahu, terkejut ia lupa pada dan byuuuur (jatuh ke laut).
Anak yang berusia delapan (8) tahun itu, timbul-tenggelam. Nafasnya terengah-engah. Ayahnya diam saja, tidak segera menolongnya. Dengan, mengerahkan segala kekuatannya ia sampai ke dekat perahu, menggapai buritan. Barulah sang ayah menjulurkan tangannya.
Paulus sadar, ayahnya memberikan pelajaran agar berani dan percaya diri. Ia pun selalu ingat kata-kata ayahnya, bahwa anak lelaki apalagi si sulung harus kuat untuk menjadi tulang punggung dan kebanggaan keluarga.
Hal itu dikisahkan Paulus Waterpauw dalam buku biografinya Paulus Waterpauw Mengabdi Dengan Hati yang ditulis Ensa Wirarna dan Rudi Hartono pada tahun 2013 dan diterbitkan Penerbit Bejana tahun 2014.
Namun demikian, walaupun sering membawa Paulus mengembara ke hutan dan laut, ayahnya sangat memperhatikan untuk belajar di sekolah. Di sekolah Paulus pun bisa belajar dan bermain seperti murid lainnya. Guru sekolahnya, hanya satu orang yang namanya Pak Salakai.
Guru pun sangat sibuk harus mondar-mandir kesana kemari mengejar di enam (6 )kelas sekaligus. Karena itu, sering sekali pak guru meninggalkan kelas setelah ia menulis di papan tulis untuk di baca, dan kemudian disalin pada buku masing-masing .
Anak-anak pun tahu, kapan gurunya masuk kembali ke dalam kelas. Memang cukup lama kelas itu ditinggalkan, kosongan seperti itu, mungkin antara 30 menit sampai setengah jam.
Kekosongan seperti itu, sering Paulus gunakan untuk bermain di luar. Biasanya, seorang demi seorang mengendap-ngendap keluar kelas, kemudian memanjat pohon jambu.
Anak-anak memang tidak tahu persis, kapan gurunya akan kembali masuk kelas. teman-teman sekelas pun kompak tidak ada di dalam ruangan. Oleh karena itu, anak-anak yang di luar kelas pun tidak takut kalau-kalau ada seseorang yang melaporkan perbuatan mereka pada gurunya.
Kesenangan memanjat dan memakan jambu di atas pohon, tidak selamanya mulus. bahkan seringkali kena getahnya (ketahuan, red) tiba-tiba di ketahui entah dari mana arah kedatangannya pak guru sudah ada dibawah pohon sambil mengacung-acungkan mistar kayu sepanjang satu meter. Pukulan pada kaki pun tidak terhindarkan!Jera? Tentu saja tidak, di lain kesempatan hal itu bisa saja terulang.
Alam Fakfak tempat tinggal keluarga Paulus, dekat teluk yang terlindungi pulau di seberangnya. Medan seperti itu, memberikan peluang dan tantangan. Laut yang tidak begitu ganas, bisa jadi tempat belajar bagi anak-anak.
Lingkungan seperti itu pula yang menumbuhkan keyakinannya, bahwa hidup harus punya kemauan dan keberanian sebagaimana kemauan dan keberanian yang sering Palus saksikan dari ayahnya.(rustam madubun)