PAPUADALAMBERITA.COM.MANOKWARI– Evaluasi birokrasi menjadi langkah utama dalam mewujudkan visi dan misi Gubernur Papua Barat.
Akademisi DR Filep Wamafma SH., M. Hum,menekankan bahwa birokrasi harus netral sesuai dengan undang-undang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Netralitas ini juga harus diiringi dengan produktivitas dalam bekerja.
“Jika mengikuti pernyataan gubernur, setiap satu kata yang diucapkan harus dapat diterjemahkan dalam seribu kalimat oleh pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD),’’ ujar DR Filep Wamafma SH., M. Hum yang idtemui wartawan di Manokwari Rabu (19/3/2025).
‘’Ini menunjukkan bahwa ada kekhawatiran perintah gubernur sulit diterjemahkan oleh OPD di Papua Barat,” sebut akademisi yang sehari-hari menjabat Ketua Komite III DPD RI.
Akademisi dan senator ini juga menyampaikan perlunya evaluasi kualitas, inovasi, dan kreasi dalam birokrasi.
Menurutnya, ASN yang memiliki kualitas dan inovasi patut dipertahankan, sementara yang tidak produktif harus dievaluasi karena lima tahun adalah waktu yang singkat untuk bekerja cepat.
“Saya melihat dalam tiga tahun terakhir, kepemimpinan yang terus berganti menyebabkan kurangnya rasa hormat dan kepatuhan ASN terhadap perintah pimpinan. Hal ini berdampak pada respons ASN terhadap gubernur dan wakil gubernur,” tambahnya.
Lebih lanjut, Filep Wamafma menilai bahwa evaluasi birokrasi perlu dilakukan untuk mencegah munculnya ‘matahari kembar’ dalam pemerintahan, yang dapat menyebabkan ketidakpatuhan kepada gubernur dan wakil gubernur. Hal ini berpotensi menghambat implementasi visi dan misi kepemimpinan saat ini.
“Gubernur membutuhkan orang-orang yang mampu mendistribusikan visi dan misinya secara nyata kepada masyarakat. Penempatan jabatan juga harus berdasarkan disiplin ilmu, bukan atas dasar intervensi pihak lain,’’ tegasnya..
‘’Sistem yang ada harus berjalan sesuai aturan, dengan gubernur sebagai penentu akhir,” sambung Filep.
Salah satu sektor yang dianggap perlu evaluasi mendalam adalah pendidikan.
Menurutnya, hampir seluruh gubernur di Tanah Papua telah menyatakan sikap untuk pendidikan gratis, namun implementasi di Papua Barat masih belum terlihat jelas.
“Kita memiliki potensi keuangan, tetapi pendidikan kita masih rendah. Ini menunjukkan adanya kelemahan di sektor pendidikan,” ujarnya.
Selain itu, ia juga menyoroti lemahnya partisipasi publik dalam aspek hukum dan peraturan daerah yang tidak berorientasi pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Evaluasi juga perlu dilakukan di Biro Hukum, Biro Otonomi Khusus (Otsus), serta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda).
“Bappeda harus diisi oleh orang-orang yang memiliki kemampuan berpikir strategis dan inovatif. Jika tidak, Papua Barat akan sulit merancang kebijakan yang tepat,” tuturnya.
Di sektor kesehatan, ia menegaskan pentingnya pimpinan yang kompeten di SKPD dan rumah sakit, agar Provinsi Papua Barat memiliki rumah sakit rujukan yang memadai.
“Saat ini, kita belum bisa mengandalkan rumah sakit provinsi sebagai rujukan utama. Jika provinsi tidak mampu menjadi rujukan, bagaimana kita bisa berharap kepada kabupaten yang fasilitasnya lebih terbatas?” katanya.
Ia juga menyoroti kebijakan terkait kepegawaian, terutama pengelolaan honorer dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), yang dinilai perlu evaluasi agar anggaran daerah tidak terserap hanya untuk belanja pegawai tanpa peningkatan kualitas layanan publik.
“Setiap kepala OPD harus menunjukkan program kerja yang jelas dan dapat diimplementasikan. Konsep birokrasi saat ini bukan lagi soal ‘asal bapak senang’, tetapi harus mampu menjalankan program pemerintah daerah dengan baik,” pungkasnya.
Ia menegaskan bahwa kepemimpinan gubernur dan wakil gubernur saat ini membutuhkan ASN yang loyal, taat, serta mampu menciptakan inovasi dan ide sesuai dengan kebutuhan rakyat.
“Tidak bisa lagi top-down, harus bottom-up. Program-program yang didanai APBD harus benar-benar menjawab persoalan di masyarakat,” tutupnya.(rustam madubun)