Ilustrasi foto: PAPUADALAMBERITA. FOTO: DOKUMEN.
PAPUADALAMBERITA.COM. MANOKWARI – Perlakuan represif terhadap wartawan harian Tabura Pos Hendri Sitinjak dan wartawan TribunPapua Barat.com Safwan Ashari Raharusun saat meliput sidang terdakwa oknum TNI oleh Pengadilan Militer III-19 Jayapura di gedung Pengadilan Negeri Manokwari, Senin (178/10/2022).
Kejadian itu mirip yang pernah saya alami ketika di Cenderawasih Pos (Cepos), Jayapura.
Tahun kejadian saya lupa, ceritanya begini, ada oknum TNI di Merauke terlibat pertengkaran dengan seorang wanita yang berakhir kematian wanita itu.
Penyebab kematiannya karena peluru tembakan oknum TNI berinisial Pratu SR mengena korban, perkaranya sampai ke Pengdilan Militer III-19 Jayapura.
Sidangnya itu saya meliput bersama wartawati Cenderawasih Pos, Julia Vanduk (kini pemilik media online di Jayapura),’’ mengenang kisahku.
Saya buat judul berita dari sidang itu adalah Oknum Dicinta Nyawapun Tiba, berita itu menjadi hadline di halaman utama tabloid mingguan Irian Express (Grup Harian Cenderawasih Pos, red)..
Komandan Pratu SR di Jayapura saat itu bang Asep, dari berita yang saya ceritakan di atas, kemudian saya ditelepon Asep.
Memang, Asep tidak marah-marah, ia mengatakan jika ada liputan tuntutan sampai vonis sidang berikutnya kalau boleh judulnya jangan vulgar seperti itu.
Saya mulai memahami, karena tugas bang Asep di satuan operasi tertutup.
Yang membuat abang Asep kaget, kenapa judul berita Oknum Dicinta Nyawapun Tiba.
Cerita telepon bang Asep ke saya, saya lanjutkan ke ke Pemred Irian Express H Rusdy Anwar.
Apa kata Pemred saya, dia tertawa, dia bilang itu biasa, wartawan harus “tahan banting” jangan kala gertak.
Kini, cerita saya di Jayapurta dialami wartawan Manokwari saat meliput sidang pengadilan militer di gedung Pengadilan Negeri Manokwari, Senin (17/10/2022).
Pertama saya membaca berita itu digrup whatsapp ditulis media online, saya belum teringat kisah di Jayapura, walaupun waktu itu saya tidak diminta menghapus foto liputan sidang seperti yang terjadi di Manokwari.
Namun, makin malam, makin banyak media online Manokwari memberitakan soal penghapusan foto sidang militer atas permintaan oknum TNI.
Ketua PWI Papua Barat Bustam dan Ketua AJI Jayapurta Lucky Ireeuw merilis soal itu, media online memberitakan lagi.
Saya justru tertinggal, baru mengupdaet berita itu di papuadalamberita.com Selasa (18/10/2022) ketika Ketua LBH Manokwari Yan Christian Warinussy bicara.
Yan minta Pangdam XVIII/Kasuari tindakan oknum itu karena terjadi di wilayah Kodam XVIII/Kasuari.
Terkait berita itu, ada kesamaan cerita sidang di Manokwari dengan cerita sidang di Jayapura yang saya alami belasan tahun lalu.
Kesamaan pertama: Kedua sidang digelar terbuka oleh pengadilan militer, dapat disaksikan keluarga terdakwa, keluarga korban, dan bisa diliput jurnalis.
Terus salah kedua wartawan itu dimana?
Kesamaan kedua: Terdakwa di Manokwari dan di Jayapura sama-sama oknum anggota TNI yang kesandung kasus.
Waktu saya liput di Jayapura ada komandan dari terdakwa Pratu SR, diketahui majelis hakim pengadilan militer, Oditur militer dan tidak ada yang melarang jurnalis meliput apalagi minta menghapus foto liputan sidang.
Tetapi kenapa foto dua wartawan di Manokwari minta dihapus?
Baik TNI, jurnalis kerja dijamin Undang-undang (UU). Yang TNI dijamin menyidangkan secara terbuka kasus yang melibatkan oknum TNI dengan transparan.
Jurnalis juga dijamin UU Pers meliput sidang yang digelar terbuka untuk umum.
Saya tanya lagi, salahnya kedua wartawan itu di mana?
Kita tinggalkan cerita sidang militer di Manokwari, lihat sidang Ferdy Sambo.
Ketika, kematian Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, yang menyeret Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Ma’ruf, Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E sebagai terdakwa.
Dari sidang etik Divisi Propam oleh Mabes Polri, kepada jenderal dua bintang aktif duduk di kursi pesakitan dengan dinas lengkap, disiarkan langsung stasiun TV, seperti CNN Indonesia, Metro TV dan TV One, live fulle tanpa iklan.
Siaran langsung itu tidak ada intimidasi, tidak represip dari petinggi Polri pada wartawan, apalagi disuruh hapus foto atau video di kamera jurnalis yang meliput.
Terbaru, Ferdy Sambo dan kawan-kawan masuk sidang peradilan umum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (17/10/2022), sidang perdana Ferdy Sambo setelah dipecat tidak dengan hormat.
Ferdy Sambo mendegar dakwaan jakas penuntut umum, dilanjutkan dakwaan PC, menyusul Kuat Maruf, sampai Bripda Eliezer, sidang terbuka untuk umum disiarkan langsung stasiun TV.
Diliput jurnalis dari berbagai media juga tidak ada intimidasi dan represif dari hakim, jaksa atau polisi di gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Kenapa di Manokwari ada oknum TNI disidangkan di pengadilan militer terbuka, tetapi panitera kasus itu minta wartawan menghapus foto sidang.
Saya bertanya lagi kenapa?
Bukan kah! Majelis hakim, penuntut umum, jurnalis semua dijamin undang-undang, terus dua wartawan itu salahnya dimana?
Andaikan ketua majelis hakim membuka persidangan menjelaskan sidang tertutup untuk umum, dipastikan kedua wartawan tidak masuk ruang sidang untuk meliput.
Karena UU Pers mengatur tentang tata cara liputan sidang yang digelar.
Apapun alasan cerita dibalik permintaan penghapusan foto sidangan di Pengadilan Negeri Manokwari telah membatasi kebebasan jurnalis.
Padahal jurnalis diberi ruang oleh undang-undang untuk menginformasikan sidang perkara itu.
Bagaimana jika saya balik bertanya kepada aparat, seperti pertanyaan oknum TNI yang disampaikan kepada wartawan di Manokwari, bahwa hapus foto itu.
Tetapi Saya berkata seperti ini: Boleh Saya Minta Kamu Keluarkan Semua Peluru Dari MagazineMu?
Siapapun aparat dia akan marah, dan berkata, kamu siapa? Apa urusanmu dengan peluru di magazine senjata saya?
Tetapi, pertanyaan itu tidak akan ditanyakan jurnalis pada aparat di lapangan saat bertemu dalam satu liputan, misalnya.
Kenapa? Takut? Saya jawab tidak takut, tetapi karena kami paham tugas aparat, kami belajar memahami kenapa aparat memegang senjata api, karena tugas dan perintah undang-undang, dan aparat paham Standar Operasi Prosedurnya (SOP).
Kenapa Kami bisa memahami tugas aparat, tetapi disisi lain ada aparat TNI membatasi tugas kami yang sama-sama dijamin undang-undang?
Saya tidak mau berkata masih ada oknum aparat arogan, dan lupa tugas jurnalis. Tetapi, saya ingin jujur berkata saya harus terus mensosialisasi undang undang pers pada halayak, supaya masyarakat lebih memahami tugas Pers.
Dan, saya harus ingat Pasal 2 kode etik jurnalis menyebutkan wartawan Indonesia menempuh cara profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran cara-cara yang profesional adalah menunjukkan identitas diri kepada narasumber, dan itu saya percaya sudah dilakukan kedua rekan saya, tetapi kenapa mereka masih disuruh hapus foto sidang?
Kami tidak pernah memaksa orang mengistimewakan profesi kami, sebebas-bebasnya kami juga mengetahui ada aturan, ada adab, ada etika, ada nurani yang menjadi pertimbangan kami memperoleh, menulis, menyajikan informasi menjadi berita yang baik.
Sehingga, saya tidak terlau penasaran untuk mengetahui misteri dibalik pelarangan menghapus foto karya jurnalis di pengadilan militer.
Karena yang paling mengetahui misteri menghapus foto itu hanyalah si penyuruh penghapus foto itu.
Saya prihatin saja, masih ada aparat negara yang lupa tugas-tugas jurnalis. Jika semua mau belajar untuk mengerti tugas masing-masing, saya yakin kedua wartawan tidak diperlakukan seperti itu.(rustam madubun)