ILUSTRAS FOTO: Historia. id tsunami Maluku 17 Februari 1674
PAPUADALAMBERITA.COM. Gelombang tsunami yang melanda Aceh menewaskan sekitar 280 ribu jiwa pada 26 Desember 2004 lalu ‘hanya’ setinggi 24 meter tidak sebanding dengan tsunami yang terjadi di Ambon Maluku pada tahun 1674 yang memiliki tinggi gelombang mencapai 80 meter.
Pada Sabtu 17 Februari 1674 sekitar pukul 19.30-20.00 WIT, atau 349 tahun lalu, gempa bumi dasyat dan mega tsunami meluluhlantakkan Ambon, Maluku.
Gempa berpusat di Ambon, salah satu bencana alam terbesar sepanjang sejarah Indonesia menyelimuti perjalanan VOC dan pemerintah Hindia-Belanda di Nusantara.
Ignatius Ryan Pranantyo & Phil R. Cummins menulis dalam jurnalnya yang dimuat pada SpringerLink berjudul The 1674 Ambon Tsunami: Extreme Run-Up Caused by an Earthquake-Triggered Landslide, pada 2019 tentang bencana besar yang terjadi di Ambon.
Rumphius yang seorang ilmuan ahli botani asal Jerman adalah pekerja untuk VOC menuturkan dalam tulisannya, bahwa sesaat sebelum terjadinya gempa, lonceng-lonceng di Kastil Victoria berdentang dengan sendirinya.” tulis Pranantyo dan Cummins.
Tak ada yang menduga sesuatu yang dahsyat akan terjadi. Saat itu, orang-orang mulai berjatuhan saat tanah mulai mengombak naik turun seperti lautan.
“Gempa pertama kali dirasakan dengan guncangan dahsyat dari dalam tanah di Ambon. Bangunan beserta rumah-rumah runtuh dan menjadi puing-puing” tulis Georg Everhard Rumphius dalam laporannya yang masih tersimpan rapi di Perpustakaan Rumphius di Katedral St. Fransiskus Xaverius, Ambon.
Laporan Rumphius tersebut terangkum dalam website IOC UNESCO dengan judul Summary notes of Georg Everhard RUMPHIUS, yang ditranslasi dari laporan asli berbahasa Belanda oleh E.M. Beekman and F.Foss pada 1997.
Pada tanggal 17 Februari 1674, pada hari Sabtu malam, sekitar pukul setengah tujuh, di bawah bulan yang indah dan cuaca yang tenang, harus berubah jadi malam kelabu. Rumphius dalam laporannya menggambarkan kejadian buruk yang ia alami saat itu.
“Seluruh Provinsi (sebutan saat itu, red), yaitu Leytimor, Hitu, Nusatelo, Seram, Buro, Manipa, Amblau, Kelang, Bonoa, Honimoa, Nusalaut, Oma dan tempat-tempat lain yang berdekatan, mengalami guncangan yang begitu mengerikan sehingga kebanyakan orang yakin bahwa Hari Kiamat telah tiba” tulis Rumhius dalam laporannya dikutip National Geographic (16/9/2021).
Beberapa wilayah menjadi rusak parah. “Di Leitimor dan Semenanjung Hitu, terjadi tanah retak di banyak tempat dan ada banyak longsoran, yang sangat kuat di Wawani dan Pegunungan Manuzau” tulis UNESCO dalam laporannya berjudul Air Turun Naik di Tiga Negeri Mengingat Tsunami Ambon 1950, terbitan tahun 2016.
Pasca guncangan dahsyat, mulai muncul gelombang pasang yang lemah di Teluk Ambon. Gelombang tersebut datang dan menarik mundur yang dijumpainya didarat sebanyak tiga kali. Air naik ke ketinggian 4 sampai 5 kaki, dan beberapa sumur yang dalam terisi begitu cepat sehingga orang bisa mengambil air dengan tangan, sementara saat berikutnya sumur itu kosong lagi.
“Pantai timur Sungai Waytomme terbelah dan air menyembur, setinggi 18 hingga 20 kaki, melemparkan pasir berlumpur biru yang diyakini kebanyakan orang hanya dapat ditemukan pada kedalaman 2 hingga 3 depa” tambahnya
Gempa dan tsunami itu terjadi saat , di wilayah Ambon bertepatan dengan perayaan tahun baru China yang sedang berlangsung cukup meriah di sekitar pasar.
“Gempa yang dahsyat itu diikuti oleh mega tsunami yang super besar dengan ketinggian sekitar 100 m yang hanya diamati di pantai utara Pulau Ambon” tulis Pranantyo dan Cummins.
Rumphius menambahkan, “Semua orang berlari ke tempat yang lebih tinggi untuk menyelamatkan diri, di mana mereka bertemu dengan Gubernur dan kompi besar. Mereka mulai memimpin majelis dalam doa di bawah Langit yang cerah, berharap ada keajaiban untuk menyelamatkannya”.
Orang-orang terus mendengar dentuman seperti tembakan meriam yang jauh. Sebagian besar terdengar dari Utara dan Barat Laut, menunjukkan bahwa beberapa gunung mungkin akan meledak atau, setidaknya, gunung-gunung akan runtuh.
“Kerusakan yang dialami terus diberitakan dari tempat ke tempat. Kurang lebih bencana besar ini telah menyebabkan kematian lebih dari 2.243 jiwa masyarakat pribumi dan diantaranya mencakup 31 orang Eropa, dengan total mencapai 2.322 jiwa” Rumphius menutup laporannya.
Setelah gempa dan tsunamii tahun 1674 Kepulauan Maluku pernah mengalami gempa dan tsunami lagi, seperti di tahun 1820, 1889, 1871, 1938, dan tahun 1950.
Tulisan ilmuwan asal Jerman itu sebagian catatan sejarah gempa dan tsunami terkait bencana rapid onset yang pernah terjadi dan paling mematikan di Maluku saat itu.
Provinsi Maluku berada pada wilayah rawan gempa bumi dan tsunami karena merupakan pertemuan antara Lempeng Eurasia dan Lempeng Australia.(natago/ghali pratama/rustam madubun)