Papua

Reduksi Potensi Korupsi di Papua, Yoku Minta KPK Libatkan Tokoh Agama, Tokoh Adat

169
×

Reduksi Potensi Korupsi di Papua, Yoku Minta KPK Libatkan Tokoh Agama, Tokoh Adat

Sebarkan artikel ini
Print

Pendeta Alberth Yoku. PAPUADALAMBERITA. FOTO: ISTIMEWA.

PAPUADALAMBERITA.COM. JAYAPURA – Ketua Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Jayapura Pendeta Alberth Yoku menegaskan, Provinsi Papua selama ini selalu menyandang predikat buruk di tingkat nasional.

Mantan Ketua Sinode GKI di tanah Papua ini menyebut beberapa di antaranya, yakni sebagai provinsi termiskin, provinsi dengan tingkat rasa kebahagiaan terendah, provinsi dengan pelayanan publik yang good governance-nya sangat buruk, dan juga sebagai provinsi dengan kasus-kasus korupsi yang besar.

Karena itu, Pendeta Alberth berharap agar provinsi yang dipimpin gubernur dua periode, Lukas Enembe ini ke depan tidak lagi terjerumus dalam persoalan-persoalan yang sama.

“Pandangan saya tentang keberadaan kami di Provinsi Papua, provinsi induk sebelum dimekarkan ini, yang pertama provinsi ini dalam penilaian oleh negara masih jauh dari yang diharapkan.

Dari nilai-nilai yang diberikan oleh negara secara nyata seperti itu, de facto-nya ada, maka sangat penting pembangunan mentalitas dan tata cara kerja pribadi maupun kelompok orang yang memimpin di provinsi Papua, agar berkaca pada soal ini,” kata Pendeta Alberth Yoku di Jayapura, Selasa (22/11/2022).

Dengan predikat seperti itu, Pendeta Alberth menilai, langkah-langkah yang  dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah menetapkan Gubernur Papua Lukas Enembe sebagai tersangka, dan mungkin juga orang-orang lain setelah Lukas, sudah sangat tepat dan patut terus didukung.

“Sehingga apa yang terjadi dengan Bapak Gubernur Lukas Enembe dan mungkin juga ada yang lain-lain akan terikutkan misalnya, itu harus dilihat dari sisi nilai yang mau kita capai. Kita mau provinsi kita ini menjadi baik,’’ tegas Alberth.

‘’Jadi kalau ada kedapatan penyelenggaraan pemerintahan, penyelenggaraan keuangan negara yang tujuannya untuk pembangunan dan kesejahteraan itu diselewengkan, maka yang bersangkutan memang harus mempertanggung jawabkannya, karena itu bukan uang milik pribadi tapi milik rakyat banyak,” sambung Pendeta Alberth.

Untuk mereduksi potensi terjadinya penyimpangan keuangan negara dimaksud, tokoh gereja yang juga adalah Ketua Forum Masyarakat Adat Tabi ini meminta kepada lembaga antirasuah Indonesia untuk melibatkan para pemuka adat dan tokoh agama di Papua untuk ikut mengawasi jalannya suatu proyek pembangunan di wilayah mereka.

Dijelaskan, selama ini pelibatan secara informal sudah ada, namun hal itu baru sebatas menghadirkan tokoh-tokoh agama, ondofolo/ondoafi atau kepala suku dalam ritual mengawali pembangunan suatu proyek tertentu.

“Contoh misalnya setiap kali ada suatu bangunan yang mau dibangun, itu kan selalu ada ritual keagamaan dan ritual adat, maka tanggung jawab kita hanya pada batas itu,” sebut Pendeta Alberth.

Tetapi, lanjutnya, pelibatan bisa dilakukan secara lebih strategis. Misalnya menjadikan tokoh pemuka agama dan tokoh adat sebagai mitra strategis KPK dalam mencegah potensi terjadinya penyimpangan atau dalam pengusutan dan penyelidikan kasus penyimpangan keuangan negara yang telah terjadi melalui pembangunan proyek dimaksud.

“Jadi misalnya Bapak Lukas itu kan umat kita, dia tahu bahwa ada sesuatu (proyek pembangunan) yang dilakukan waktu itu, dimana orang adat dan orang gereja juga hadir. Misalnya ada proyek jalan, sebuah pembangunan gedung, jadi minimal kita dapat menopang dia dengan hal yang kita tahu, data-data dan sebagainya,’’saran Alberth

Sebenarnya kita juga siap begitu. Itu kan tokoh agama harus bicara jujur. Dengan kejujuran itu kita bisa membantu proses yang sedang terjadi bagi umat kita sehingga bisa berjalan lancar dan bisa selesai,” lanjut Pendeta Alberth.

Pendeta Alberth Yoku juga menyinggung praktik pelibatan tokoh adat dan pemuka agama yang terjadi selama ini di Papua. Mereka sering hanya dilibatkan di awal kegiatan pembangunan oleh para pelaksana proyek untuk mendapatkan restu, namun setelah itu mereka ditinggalkan.

“Jika ada korupsi atau ada pemeriksaan terhadap bukti-bukti dari sesuatu (proyek pembangunan) yang sudah dilakukan, maka sebenarnya kami juga bisa dimintai keterangan tentang fakta, sejarah, kapan. Kami juga bisa memberitahu bahwa (proyek) ini betul waktu itu sudah dilakukan, kan biasanya kita ditinggalkan,” kata Pendeta Alberth.

Kepada semua stakeholder, Pendeta Alberth Yoku berpesan agar sama-sama memiliki kepedulian yang sama dalam memajukan berbagai aspek pembangunan di tanah Papua. Apalagi Papua kini sudah menjadi 6 Provinsi maka seluruh pekerjaan harus harus tetap berjalan pada koridor yang berlaku serta menghormati berbagai peraturan perundang-undangan, mekanisme, dan prosedur.

“Jadi, mari kita menjaga provinsi-provinsi baru ini untuk keluar dari nilai-nilai buruk yang selalu ada. Jadi kalau misalnya Papua terus dikatakan sebagai provinsi-provinsi yang punya nilai korupsi tertinggi, yang provinsi baru ini sucikanlah dirimu, berlakulah dengan perjalanan yang mulus dan baru,’’ ujarnya.

‘’Pada prinsipnya godaan dan masalah tidak pernah lepas dari kita, tapi manusia ini kan diberi akal, pikiran, hikmat, karisma, kebijakan, kebijaksanaan oleh Tuhan untuk dapat menimbang mana yang buruk mana yang baik, mana yang salah mana yang benar,’’ pesan Yoku.

Tambahnya, bahwa dengan cara itu, oarang -orang yang memimpin provinsi-provinsi baru ini bisa menjaukan diri dari korupsi,” seru Pendeta Alberth Yoku.(tam/rls)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *