Dari langit Nusantara, di antara awan dan angin perjalanan Sorong – Jakarta, Ahmad Nausrau menulis catatan hati. Sebuah narasi reflektif dari Wakil Gubernur Papua Barat Daya, dikirim melalui sambungan WhatsApp kepada redaksi papuadalamberita.com, Senin 20 Mei 2025.
PAPUADALAMBERITA.COM.MANOKWARI – Langit pagi itu bersih dari mendung. Di antara gemuruh mesin Garuda Indonesia yang membawa saya dari Sorong ke Jakarta, kenangan itu kembali melintas, seperti film lama yang tak usang dimakan waktu.
Ada kisah cinta yang tumbuh bukan dari tatapan mata, tapi dari keyakinan, dari doa, dan dari niat suci pengabdian.
Tahun 2007 adalah tahun peralihan dalam hidup saya. Saya baru saja menyelesaikan studi strata satu dan memutuskan untuk pulang kampung ke Kaimana.
Saat itu Kabupaten Kaimana masih muda sebagai daerah otonom, baru saja melepaskan diri dari Kabupaten Fakfak di tahun 2003. Bupati definitif pertama, Drs. H. Hasan Achmad, M.Si., terpilih pada Pilkada 2005.
Sebagai daerah otonom baru, Kaimana masih membentuk perangkat organisasi sosial dan keagamaan sebagai mitra strategis pemerintah dalam pembangunan.
Penuh semangat dan cita, saya terjun ke tengah dinamika masyarakat, turut serta dalam pembentukan Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Kaimana.
Majelis Ulama Indonesia sebagai mitra pemerintah (sadikul hukumah) dan pelayan umat (khadimul umah), wadah para zu’ama, cendekiawan muslim, dan Ormas Islam, saat itu belum terbentuk di Kaimana.
Akhir 2007, pimpinan Ormas, zu’ama, dan cendekiawan muslim menggelar rapat di Masjid Sabilillah untuk memilih Ketua dan Pengurus MUI Kaimana masa khidmat 2007–2012, berdasarkan mandat dari MUI Provinsi Irian Jaya Barat (kini Papua Barat).
Tanpa pernah terduga, amanah itu datang begitu cepat.
Dalam usia yang masih sangat muda, 25 tahun, saya ditunjuk secara aklamasi sebagai Ketua Umum MUI Kaimana.
Sebuah kehormatan sekaligus tanggung jawab yang besar. Namun, di balik gemuruh tugas itu, para sesepuh mengingatkan:
“Sebelum dikukuhkan, menikahlah, Ustadz Ahmad.”
Saya tahu, itu bukan sekadar saran. Bukan pula sekadar tradisi. Tapi nasihat penuh hikmah agar jiwa ini seimbang dalam meniti tanggung jawab.
Terlepas dari permintaan itu, saya meyakini bahwa usia 25 tahun adalah waktu yang indah untuk memasuki jenjang pernikahan, mengikuti sunah Rasulullah SAW yang juga menikah di usia yang sama.
Maka saya berpikir: bagaimana mencari pendamping hidup dalam waktu hanya satu bulan, sedang saya tak pernah mengenal pacaran?
Saya lalu menghubungi Ustadz Fadlan Garamatan di Jakarta. Beliau menjadi jembatan doa saya.
Lewat perantara beliau dan Ustadz Maulana di Majenang, Jawa Tengah, dikenalkanlah tiga nama akhwat.
Tak ada foto, hanya biodata.
Dua di antaranya mundur, mungkin karena foto saya, yang memang “terlalu Papua”, terlalu sawo matang, seperti kata orang bercanda. Tapi cinta, kawan, tak mengenal warna kulit. Ia hanya mengenal keikhlasan.
Satu nama bertahan. Saya pun berangkat ke Majenang. Perjalanan panjang itu seakan tak terasa, karena ada harap di ujungnya.
Sore saya tiba, malamnya kami ta’aruf di sebuah ruang sederhana. Tak ada kemewahan, hanya secangkir teh, tempe mendoan hangat, dan percakapan yang diselimuti getar hati.
Dalam dua jam, keputusan besar itu diambil.
Kami khitbah malam itu juga. Belum sebulan setelah ta’aruf, pada tanggal 24 November 2007, kami menikah.
Akad yang sederhana, di masjid kecil di Desa Ciporos, disaksikan keluarga, para sahabat, dan para guru kehidupan.
Dua hari setelahnya, saya membawanya pulang ke Kaimana.
Malam itu pula saya dikukuhkan sebagai Ketua Umum MUI Kabupaten Kaimana. Maka dalam satu malam, saya menjalani dua fase agung dalam hidup: menjadi suami dan menjadi pelayan umat.
Cinta kami tak lahir dari pandangan mata, melainkan dari keyakinan yang kokoh. Sebuah cinta yang tidak diburu waktu, tapi dilahirkan dari ridha Allah dan keikhlasan hati.
Ia tumbuh di sela-sela pengabdian, dan terus mekar di tengah badai perjuangan.
Tahun-tahun berganti, tugas berganti pula.
Saya menjadi ASN, lalu Ketua Umum MUI Provinsi Papua Barat, dan kini, amanah baru dipanggul di pundak: Wakil Gubernur Papua Barat Daya.
Tapi satu yang tetap: cinta itu masih sama. Sederhana, kuat, dan bersujud bersama dalam doa-doa malam.
Kini, saat saya menatap kembali awan dari balik jendela pesawat, saya sadar: perjalanan ini bukan semata-mata soal kekuasaan atau jabatan.
Tapi tentang bagaimana cinta sejati bisa hadir, tumbuh, dan berjalan beriringan dengan pengabdian.
Dan saya bersyukur, cinta itu ditemukan bukan di keramaian, bukan di panggung gemerlap. Tapi di sebuah lorong sunyi bernama ta’aruf, dalam damai malam Majenang yang hanya disaksikan langit, secangkir teh hangat, dan tempe mendoan.(rustam madubun)