FeaturePapua Barat

Feature (3) Seniman Papua Barat Elly Krey Mengukir di Usia 7 Tahun, Yatim Piatu di Usia 10 Tahun

360
×

Feature (3) Seniman Papua Barat Elly Krey Mengukir di Usia 7 Tahun, Yatim Piatu di Usia 10 Tahun

Sebarkan artikel ini
Print
UKIRAN dan lukisan sebagai cerita bisu sejarah perjalanan seorang seniman Papua barat, Elly Krey untuk generasi millenial dalam melestarikan seni budaya orang Papua. FOTO: Rustam Madubun/papuadalamberita.com

PAPUADALAMBERITA.COM. MANOKWARI –  Seni mengukir dan memahat, pekerjaan  yang tidak banyak diminati generasi kekinian. Kita pun tidak menyangka jika karya imanjinasi pengukir bertangan dingin menghasilkan seni bernilai tinggi meninggalkan rekam jejak sejarah dan budaya Papua, itulah profesi mulia yang tidak berhenti digeluti Elly Krey.

Hari-harinya dilalui dengan senyum, sebgai ciri pria tamatan Sekolah Tehnik Menegah (STM) Biak selama 60 tahun menjadi pengukir dan pemahat di atas kayu dan media bersemen.

Hanya berbalut kaos lengan terpotong ada peredam suara yang menempel di telinganya, hari-harinya dihabiskan dengan mengukir satu bongkahan kayu ke bongkahan kayu lainnya.

Menekuni pekerjaan yang mendekati langkah ini digeluti tanpa mengeluh dan sepenuh hati, karena Ia memegang teguh wasiat sang ayanhnya untuk melestarikan seni budaya Papua dengan penuh tangung jawab.  

Keramahaannya membuat wajah bapak berusia 68 tahun ini selalu ceria. Garis-garis ketuaan seakan tenggelam dengan hidungnya yang mancung Ia tampak lebih muda dari usianya.

‘Saya harus mengukir, saya harus kerja sudah terbiasa dengan ukiran, saya akan diam jika sudah ada kayu yang saya sentuh dalam sehari,’’ ceriteranya bersemangat.

Minimnya generasi millenial Papua yang menekuni seni ukir budaya Papua tidak mengecilkan hatinya apalagi memadamkan semangatnya untuk  melestarikan jati diri orang Papua melalui karya seni ukirnya.

Cikal bakal mengukir, Krey, sapaan akrab periah medali emas cabang tinju pada Pekan Olahraga Nasional (PON) tahun 1970 ini berawal pada tahun 1958. Ia belajar secara otodidak dan sangat sederhana.

‘’Pertama mengikuri, bapak gambar, gambar motif Papua dari arang (bongkahan kayu yang dibakar) di kayu, trus saya mulai ukir pakai pahat, itu saya lakukan berulang-ulang,” kenangnya.

Dari situla saban hari Elly terus mengukir, memasuki tahun 1960 jarinya mulai menari-menari di setipa kayu yang di jumpainya, hasilnya ukiran motif-motif Papua asal Biak terukir, bahkan lukisan-lukisan itu menjadi cikal bakal ia membuat patung.

‘’Saya lupa tema dari patung pertama saya buat, tetapi saat itu saya mengukir sendiri, memahat sendiri sampai jadi lukisan dan patung, bapak hanya memberi tahu tema lukisan atau patung, selanjutnya saya sendiri,’’ ujarnya.

Waktu terus berjalan, diusia 10 tahun kemapuan Elly melukis dan mengukir kian matang, darah senih mengalir dari ayahnya serasa begitu deras. Disaat-saat usia yang memerlukan belaian kasih sayang orang tua, Elly harus menjadi anak yatim piatu, lantaran ayahnya Marinus Krey dipanggil pulang oleh pencipta untuk selamanya, menyusul ibunya Dina Sada yang berpulang saat Ia berusia enam tahun.

Menanjkan dewasa Ia tanpa dua tumpuan utama keluarga, Elly tetap bersemangat dalam mengukir, sebagian hasil ukirannya yang dikerjaan setiap pulang sekolah diberikan kepada sekolah di kampung Biak untuk membayar uang sekolahnya.

Tema aneka lukisan dan ukiran mengambarkan kultur orang Biak, seperti yang diperoleh dari almarhum ayahnya, bahwa ukiran ombak dan gelombang adalah ceriman orang Biak sebagai pelaut, pemberani mengarunggi ganasnya lautan yang mengelilingi gugusan pulau-pulau Biak.

‘’Patung merupakan representasi roh para leluhur kami,’’ katanya pendek.

Bermodalkan pengetahuan ukir yang duturnkan ayahnya, membuat Elly tidak kehilangan kesiimbangan antara kerja diusia dini dengan melanjutkan pendidikan tanpa kedua orang tuanya.

Dalam benaknya, hanya ada dua pilihan, lestarikan ukiran seperti yang diwasiatkan ayahnya, serta menlanjutkan pendidikan sekolah menegah pertama setamat SD demi masa depan.

Ganasnya lautan Biak dan kencangnya angin bukan halangan baginya untuk mendayung perahu dari kampunya ke Kota Biak hanya mengejar pendidikan SMP, itu ia lakoni hingga menamatkan STM.

Tiga jenjang pendidikan dilalui dengan kehidupan yang keras, satu pukulan mental yang dasyat Ia rasakan, bahkan Ia mengatakan melebihi pukulan ombak dan gelombang yang Ia terjang, namun Ia harus kuat dan tegar.

Bagaiman nasip pengukir asal Biak ini setamat STM? Hingga kaklinya menembus tima panas serdadu? Ceritanya di Feature (4) Seniman Papua Barat Elly Krey.(rustam madubun)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *