PAPUADALAMBERITA.COM. MANOKWARI – Suatu siang pada Sabtu medio Juli 2019. Seusai menghadiri aqiqah anak seorang rekan jurnalis di Sowi 2, kami memutuskan memburu senja di tepian Telaga Kabore, sekitar 20 menit perjalanan arah Selatan Manokwari.
Terletak di kaki bukit yang bersebelahan dengan Pantai Maruni, telaga alami itu menerima dua sumber air. Air tawar dari bebukitan — yang bakal tinggal kenangan, karena masuk dalam wilayah kontrak karya Semen Conch. Bukit kapur itu akan ditambang sebagai bahan baku semen –. Juga, pasokan dari air laut saat pasang. Luas areal genangan, pada kisaran 4-5 hektare, dengan air yang jernih.
Ketika kami tiba, air pasang baru dimulai. Permukaan telaga sebelumnya menyusut, membentuk daratan di tengah. Sepertinya akibat sedimentasi dalam waktu yang lama, setelah menerima aliran material dari bebukitan. Anak-anak Kampung Maruni memanfaatkannya untuk lapangan sepak bola saat air surut. Itu, terlihat dari tiang dan palang gawang yang masih berdiri di tengah “pulau”.
Arus deras dari laut memasuki Telaga Kabore. Rekan saya, Rustam Madubun, Bos Papua Dalam Berita mencoba mengukur kekuatan arus dengan melempar kayu kering. Kayu terseret kencang, hanyut jauh ke lain tepian. Pada alur tertentu, kedalaman bisa mencapai dua meter.
“Arus deras sekali,” kata Kepala Biro Radar Sorong di Manokwari, Mursidin, mengomentari aksi Rustam Madubun. Saya, tadinya ingin menceburkan diri ke telaga yang bening, namun membatalkan niat. Selain karena tidak membawa pakaian ganti, juga khawatir akan bahaya arus deras.
Meskipun sedang terjadi air pasang, tidak ada material dari laut yang mengotori telaga. Kejernihan tetap terlihat, sehingga menarik keinginan Mursidin dan Rustam Madubun berlomba memotret ikan-ikan kecil yang jungkir balik tak jauh dari kami berdiri.
Mursidin yang belakangan ini tengah bergairah menjadi Youtuber, sibuk merekam air pasang, yang masuk ke areal telaga dari arah pantai, melalui saluran kali di mana terdapat jembatan yang memisahkan pantai dan danau.
Berharap ada warga setempat yang kami temui, untuk bisa bercerita tentang telaga itu. Namun, tak ada, kecuali seorang lelaki paruh baya, hanya dengan beralaskan pakaian dalam tengah membersihkan diri di kolong jembatan.
Dua orang warga setempat terlihat sedang melempar jala dari sebuah sampan kecil, namun itu sangat jauh, hingga ke kaki bukit. Suara kami, seandainya berteriak memanggil mereka pun, tak terdengar. Suara kami malah membentur dinding bukit dan menggemah kembali ke pendengaran kami.
Sesekali mendengar melodi alam dari belantara di seberang telaga. Itu adalah siulan burung-burung, bak simponi di tengah rimba raya. Bersahut-sahutan, kadang nyaring, kadang lembut.
Kami bertiga lalu berdiskusi tentang keberadaan telaga itu, dari berbagai perspektif. Arus utama diskusi kami, bermuara pada menjadikan Telaga Kabore sebagai obyek wisata bagi warga Kota Manokwari. Apakah, mereka yang jenuh bekerja selama sepekan, atau para petualang atau juga para pelintas dari kota ke Prafi, Masni, Anggi, Oransbari, Ransiki dan Bintuni, atau sebaliknya, sekadar untuk melepas lelah.
Dari percakapan di tepi telaga, kami membayangkan, pemerintah Kampung Maruni bisa menata obyek itu, agar menarik untuk disinggahi. Di sana, bisa dibangun beberapa rumah makan panggung –semacam restaurant terapung–, juga jembatan kayu dari tepian satu ke tepian lain, agar bisa menjadi obyek selfie yang menarik.
Sementara di dasar telaga, warga memelihara ikan dalam keramba. Para pengunjung bisa memilih ikan untuk diolah jadi santapan. Bukankah, di seantero Manokwari, jarang ada restaurant terapung, seperti Dok II Jayapura yang menyedot pengunjung setiap hari?
Bahkan, menurut Rustam Madubun dan Mursidin, dari atas bukit, pengelola obyek wisata telaga bisa memasang tali peluncur flying fox. Tentu, akan lebih menarik jika fasilitas lain untuk outbound disediakan.
Seandainya, pemerintah kampung kesulitan, bisa saja bekerja sama dengan pengelola yang lebih professional. Tinggal, membicarakan pola bagi hasil.
Tak puas berdiskusi di tepi danau, kami bergeser ke sebelah jalan. Pasang naik, memicu ombak Pantai Maruni membentur dinding tembok pengaman pantai. Dekat sebuah honai yang sedang dibangun, kami melihat bayangan Kota Manokwari dari jauh, berlawanan arah dengan pelabuhan bongkar muat milik Semen Conch.
Angin senja berembus kencang. Kami bertiga melanjutkan selfie dan merekam suasana senja di Pantai Maruni, ditingkahi deru mesin mobil yang lalulalang. Jika saya dan Rustam Madubun, masih melanjutkan diskusi tentang pengelolaan Pantai Maruni dan Telaga Kabore sebagai obyek persinggahan menarik, maka Mursidin, selalu menambahkan satu hal. Adakah spot mancing yang menarik.
“Baru-baru ini, saya dan Adyth (putra semata wayangnya) mancing di sana. Dapat (ikan) lumayan,” kata Mursidin sambil menunjuk spot mancing tak jauh dari lepas Pantai Maruni.
Maklum. Mursidin adalah seorang pemancing tulen. Berlatar budaya dan keturunan Buton, laut dan mancing tak bisa dilepas-pisah dari sisi kehidupan. Sejatinya, masih ada satu sosok dari kalangan jurnalis Manokwari yang piawai soal mancing. Hendrik Akbar. Hanya, ia tidak ikut dalam tim kami yang memburu senja di Telaga Kabore.
Kami tahu dan sadar, bahwa ini hanya sebuah diskusi ringan yang kebetulan muncul dipicu suasana sesaat, tetapi karena dilakukan di pantai dan tepi telaga pada sore hari, spiritualitasnya lumayan kuat. Menyegarkan. Sebelum diskusi mengalami degradasi subtansi dari tataran ide, usul, saran ke zona ilusi, kami bersepakat untuk balik ke kota.
Bayu senja, bertiup makin kencang. Kami bertiga tahu diri, umur tak bisa ditipu. Berlama-lama di tepi pantai diterpa angin kencang bagi orang seumuran kami, tak baik untuk kesehatan. Mursidin yang memegang kendali kemudi Suzuki Ertiga melaju kencang, kembali ke Kota Manokwari disambut azan yang menggema dari menara masjid.(key tokan asis/wartawan antara)