PAPUADALAMBERITA.COM. MANOKWARI– Di antara semrawut trotoar dan deret penjual yang tumbuh subur, Manokwari seolah mencari napasnya sendiri.
Kota ini tak sepenuhnya menata diri, tapi seakan membiarkan waktu menatanya perlahan, atau justru membiarkannya hanyut dalam ketidakteraturan yang akrab.
Di bahu jalan, sayur dijajakan, bensin eceran berjejer, dan ruang publik berganti fungsi.
Mereka yang menempati ruang-ruang itu tak datang untuk mengacaukan, melainkan untuk bertahan hidup.
Nafas kota dan nafkah mereka saling bersinggungan, menciptakan wajah ibu kota yang makin sulit dikenali: manusiawi, tapi nyaris kumuh.
Di bawah langit senja yang perlahan menyusut di balik pegunungan Arfak, kota Manokwari memantulkan wajah yang berbeda.
Bukan lagi sekadar ibu kota yang menyimpan sejarah panjang peradaban Injil di tanah Papua, tapi kini juga menampakkan wajah yang mulai retak, seakan tanpa kendali, seakan kehilangan arah estetika.
Di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman Borobudur, Jalan Yos Sudarso depan pertokoan Sanggen trotoar yang sejatinya menjadi ruang aman bagi pejalan kaki, kini beralih fungsi setiap sore.
Pedagang sayur-mayur dan buah menata hasil bumi mereka di atas karung plastik seadanya, menggoda pembeli yang melintas, tapi sekaligus merebut ruang publik yang semestinya steril dari transaksi.
Tak hanya itu, pemandangan yang dulu hanya ada di dalam pasar, kini menjalar ke luar pagar.
Di beberapa titik seperti Jalan Yos Sudarso, Sanggeng, sekitar Pasar Wosi, hingga Jalan Pahlawan, bahkan praktik penjualan daging, yang seharusnya dilakukan di tempat khusus dengan pengawasan dan ketentuan kebersihan, kini mulai dilakukan di ruang-ruang terbuka.
Hal yang seharusnya diatur ketat, terlebih menyangkut kategori halal dan haram, justru dibiarkan bebas, menyatu dengan jalan raya dan hiruk pikuk kota.
Pemandangan ini tak hanya mengusik estetika, tapi juga menyentuh persoalan kesehatan dan etika.
Di Jalan Trikora Wosi, deretan penjual buah berbaris tanpa pola, menempati bahu jalan yang sempit.
Di Jalan Reremi, tanah disewakan pemili, kios-kios semi permanen tumbuh seperti jamur setelah hujan, menancapkan tiang-tiang seng dan kayu di pinggir jalan tanpa rencana ruang yang tertata.
Jika dibiarkan terus tanpa arah dan kebijakan yang berpijak pada ketegasan sekaligus empati, maka kondisi ini bukan hanya akan bertambah jumlahnya, tetapi juga menjadi semakin rumit untuk ditertibkan.
Sebab pada akhirnya, realitas ini akan bersinggungan dengan soal kemanusiaan, ekonomi, dan mata pencaharian.
Mereka yang dahulu hanya satu dua orang, kini telah menjadi komunitas yang besar, berbagi nasib, harapan, dan ruang yang kurang tepat di tanah rantau.
Sebuah kekuatan yang terbentuk dari ikatan senasib sepenanggungan, yang jika disentuh tanpa pendekatan bijak, bisa menimbulkan gesekan sosial, dan gangguan keamanan ketertiban masyarakat (Kamtibmas).
Bensin eceran hadir dalam botol-botol plastik, penjual buah musiman seperti langsat, durian, dan rambutan merangsek masuk ke Jalan Merdeka—satu dua mulai berjejer di bawah tenda-tenda tua portabel.
Mereka menawarkan kemudahan bagi kendaraan yang kehabisan bahan bakar dan bagi pejalan yang ingin sekadar membawa pulang buah segar.
Tapi kehadiran mereka, seiring waktu, turut menambah kesan semrawut di ruang kota.
Bahkan, di tengah pemukiman, bengkel-bengkel informal berdiri di pusat kota.
Dan yang lebih menyentuh sisi batin, beberapa pekarangan rumah kini menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi anggota keluarga, pemakaman yang berdampingan dengan teras kehidupan.
Semua ini seolah menjadi potret buram dari wajah kota yang sedang tumbuh, namun nyaris tumbuh tanpa arah.
Dalam pengamatan papuadalamberita.com, jika kondisi ini terus dibiarkan tanpa langkah tegas dan pembinaan berkelanjutan dari pemerintah daerah Kabupaten Manokwari serta kesadaran kolektif masyarakat Manokwari, maka harapan akan Manokwari sebagai ibu kota provinsi yang indah dan berestetika hanyalah ilusi dalam wacana.
Kota ini bukan sedang menuju modernitas, tetapi seperti sedang diseret pelan-pelan menuju kekumuhan, sebuah kondisi yang bisa saja lahir dari kelalaian atau justru dari ketidakpedulian kolektif.
Sudah saatnya, Pemerintah Kabupaten Manokwari dan Pemerintah Provinsi Papua Barat menyusun langkah konkret.
Perlu ada penegakan peraturan daerah yang tidak hanya memberi sanksi, tetapi juga memberi arah dan batas, tentang tata ruang publik yang asri, indah, dan bersih.
Penertiban pemukiman, penataan ruang publik, hingga pembinaan terhadap pelaku ekonomi kecil harus berjalan seirama.
Agar kota ini tetap menjadi rumah yang layak bagi semua, bukan sekadar tempat tinggal yang nyaris kehilangan wajah.
Karena Manokwari bukan kota kecil di tepi peta Indonesia, Manokwari adalah jantung pemerintahan provinsi, Manokwari adalah cermin Papua Barat di mata dunia.(rustam madubun)