PapuaPapua Barat

“Lembaran Hidup Ibu Penjual Cenderawasih Pos: Dari Bandung ke Jayapura, dari Lelah ke Lillah”

854
×

“Lembaran Hidup Ibu Penjual Cenderawasih Pos: Dari Bandung ke Jayapura, dari Lelah ke Lillah”

Sebarkan artikel ini
"Dua orang, satu tahun kelahiran, dua jalan pengabdian. Saya mantan jurnalis Harian Cenderawasih Pos , dan Ibu Tuti penjual koran Harian Cenderawasih Pos di Jayapura yang setia mengantar berita kami sejak tahun 90-an. Bertemu di tangga Hotel Swiss Belexpress Jayapura, tempat cerita ini dimulai, Senin (5/5/2025). FOTO: TRIYATINI.PAPUADALAMBERITA
Print

Pagi itu, pukul 06.20, di tangga Hotel Swiss Belexpress Jayapura, langkah saya tertahan oleh sosok perempuan tua yang menapaki anak tangga satu per satu, mengantar koran harian Cenderawasih Pos. Saya membelinya, lalu berbincang sejenak—dan tersadar, kami seumuran, lahir di tahun yang sama: 1966. Saya pernah tujuh tahun menulis di media ini, sementara ia, sejak tahun 90-an, menjajakan hasil liputan kami dari lorong ke lorong kota. Beda divisi, tapi sama-sama setia. Berikut kisahnya.

PAPUADALAMBERITA.COM.JAYAPURA- Di sudut-sudut Jayapura yang sibuk, kala pagi baru membuka matanya, ada satu sosok yang setia melangkah pelan namun pasti.

Dialah Tuti Mulyati, seorang ibu yang telah mengayuh hidup dari lembar ke lembar koran, seperti menuliskan kisahnya sendiri di antara berita-berita hari ini.

Asalnya dari Bandung, Jawa Barat. Tapi sejak tahun 1978, tanah Papua telah menjadi rumah kedua.

“Saya ikut kakak yang kerja di Perhubungan Laut. Beliau sudah almarhum,” kenangnya dengan suara lirih, mengulang kembali jejak yang jauh ditinggalkan.

Hidup tak selalu datar. Ibu Tuti, kini berusia 59 tahun, mengaku telah menghidupi keluarga dari pekerjaan menjual koran sejak awal tahun 1990-an.

Saya dan Suami dari Tuty, Sina Kusniaantobo penjual koran harian Cenderawasih Pos di kawasan pertokoan Taman IMBI Jayapura, Senin (5/5/2025). FOTO: SELFIE.

Bersama sang suami, Sina Kusniantobu, yang berasal dari Buton, Sulawesi Tenggara, mereka membagi rute dan rezeki: sang suami menjaga lapak kecil di depan pertokoan IMBI, sementara ia menjelajah keliling kota.

“Dulu saya bisa ambil 100 sampai 300 eksemplar koran per hari, sekarang hanya 15,” tuturnya pelan.

Ia tak bisa mengembalikan koran yang tak laku, berbeda dengan dulu. Maka, ia berhitung cermat.

Dari satu koran yang ia jual seharga Rp12.000, ia hanya mendapat untung Rp2.000. Terkadang sehari hanya laku lima eksemplar, membawa pulang Rp10.000 yang tak sebanding dengan lelah langkahnya mengitari kota, dari Ajendam, ke Paldam, lalu ke pasar pagi, berputar kembali ke pertokoan Jayapura, dan terus begitu, bolak-balik menjemput rezeki.

Namun tak ada keluhan panjang darinya.

“Saya nikmati saja. Sudah begini keadaannya,” katanya, sembari tersenyum.

Keteguhan hatinya justru menggema lebih keras dari langkah sepatunya di aspal kota.

Tiga anak laki-laki pernah meramaikan rumah kos-kosan kecil mereka di kawasan APO Bengkel.

Tapi satu di antaranya telah lebih dulu dipanggil Sang Pencipta karena gigitan ular.

Dua lainnya kini bekerja sebagai karyawan gudang di toko Sinar Matahari. Yang satu sudah berkeluarga dan memberinya dua cucu, yang lain masih lajang.

Ibu Tuty Menapaki Tangga Hotel Swiss Belexpress Jayapura untuk mengantar koran langganan di pagi hari. Langkah-langkah kecilnya menyimpan keteguhan dan dedikasi puluhan tahun, Senin (5/5/2025). FOTO: RUSTAM MADUBUN.PAPUADALAMBERITA

“Saya selalu bilang ke anak-anak, kerja itu nggak usah pilih-pilih. Yang penting halal. Pikul barang juga tak apa-apa, asal itu pekerjaan jujur,” nasihatnya, penuh kasih dan ketegasan seorang ibu yang telah banyak melewati badai.

Setelah selesai menjual koran sekitar pukul 09.00 pagi, Ibu Tuti tak langsung pulang.

Ia lanjut membantu warung nasi pecel di daerah Paldam. Hidup harus terus berjalan, meski peluh belum benar-benar kering.

“Orang kerja harus sabar, biarpun gaji kecil. Saya ini Mama kalian, hanya jual koran, tapi sabar. Kalian harus bantu Mama menabung,” pesannya yang menjadi bekal hidup anak-anaknya.

Ia menikah di Jayapura tahun 1985, di kota yang kini menjadi saksi perjuangan hidupnya. Dari kota ini, koran demi koran ia edarkan, dari jalan ke jalan, dari pagi hingga hari menggelincir siang.

Saat ditanya, apa yang paling berkesan dari menjual koran? Ia menjawab sederhana:

“Dari koran ini saya besarkan anak-anak. Ya, alhamdulillah, walau sedikit-sedikit, saya syukuri dan nikmati.”

Senada dengannya, sang suaminnya Sina Kustiantobo menuturkan, bahwa sebelum menjadi penjual koran, ia bekerja di tempat praktek milik seorang dokter, dr. Budi Indarto, dokter Polda Papua yang kini telah tiada.

Setelah sang dokter wafat dan sang suami jatuh sakit, mereka memulai usaha menjual koran. Dari titik itulah, hidup berbelok, dan ia menggenggam kuat roda nasibnya.

Kini, di tahun 2025, mungkin dialah Bersama suaminya satu-satunya penjual koran keliling di Jayapura.

Di tengah dunia yang makin digital dan serba cepat, ia tetap setia pada lembaran kertas, seakan tak ingin menyerah pada perubahan yang dingin.

“Saya jual saja, saya tawarkan saja, saya tidak malu,” ucapnya mantap. “Ada juga yang masih langganan, sebulan Rp270.000.”

Saya, istri dan Ibu Tuty, berfoto bersama di tangga Hotel Swiss Belexpress Jayapura, Senin (5/5/2025) tempat pertemuan pagi yang membuka kisah panjang perjuangan penjual koran legendaris Kota Jayapura.FOTO: RUSTAM MADUBUN.PAPUADALAMBERITA

Dengan semangat yang tak pernah pudar, Ibu Tuti dan suaminya tetap mengayuh hari demi hari. Mereka tak punya rumah sendiri.

Sejak awal pernikahan hingga kini, mereka tinggal di kos-kosan seharga Rp800.000 per bulan. Namun bagi mereka, hidup adalah soal cukup dan syukur. Bukan soal besar dan megah.

Di tengah sunyinya minat pada koran cetak, Ibu Tuti tetap menjadi penjaga waktu.

Ia menyambung hari dari berita-berita yang mungkin tak lagi dibaca, tapi menjadi saksi perjuangan hidup yang sesungguhnya.

Ia, dan mungkin hanya dia, yang masih setia menjual koran di jalanan Jayapura, bukan sekadar menjual kabar, tapi menyampaikan pesan diam-diam: bahwa ketekunan, kesabaran, dan kejujuran belum musnah ditelan zaman.(rustam madubun)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *