Persiapan tenaga kesehatan untuk melakukan vaksinasi. PAPUADALAMBERITA. FOTO: RUSTAM MADUBUN
PAPUADALAMBERITA.COM. MANOKWARI – Indonesia, Papua Barat dapat melewati ujian berat di masa pandemi COVID-19, gelombang kedua. Keberhasilan ini tidak datang begitu saja, tetapi upaya kerja sama yang dibangun semua warga Indonesia dan Papua Barat.
Jangan takabur atas keberhasil itu, jangan keburu bersenang-senang karan virus ini belum kemana-mana, masih ada dan dapat kembali menyerang kita, malapetaka pun tiba.
Sampai hari ini patut kita bersuyukur, Tuhan mesih menjaga kita karena tingkat penularan korona di Papua Barat terus dapat ditekan. Angka kasus aktif positif di Provinsi Papua Barat terus menurun.
Pemerintah Provinsi Papua Barat melalui Satuan Tugas COVID-19 dalam laporan harian gambaran situasi update Sabtu 23 Oktober 2021 melaporkan hanya ada penambahan tiga (3) orang yang positif itupun hanya dari Kabupaten Manokwari.
Juru Bicara Satgas COVID-19 Papua Barat, dokter Arnold Tiniap dalam rilisnya semalam menyebutkan angka kesembuhan konsisten memperlihatkan peningkatan, kasus aktif di 13 kabupaten dan satu kota ini hanya 108 orang. Sedangkan sampai Sabtu, orang diperiksa di Papua Baraty 161. 771 orang, yang negatif 138. 690 orang (85, 7%) dan yang positif 23. 0811 orang (14, 3%).
Tingkat kematian di Papua Barat akibat korona juga menunjukan penurunan, sampai hari ini (Sabtu, 23/10/2021, red) Satgas melaporkan total meninggal dunia Papua Bara sejak korona mengamuk 388 orang, dengan menempatkan Kota Sorong sebagai terbanyak yaitu 93 orang dan Kabupaten Manokwari 73 orang, menyusul Kabupaten Teluk Bintuni 35 orang dan Kabupaten Sorong 34 orang.
Tidak hanya di Papua Barat, di belahan Indonesia lainnya juga sudah jarang terdengar sirena dengan lampu strobo berkelapkelip yang didalamnya ada petugas kesehatan dengan perlengkapan APD lengkap. Saf-saf masjid di Manokwari dan Papua Barat pada umumnya tidak ada lagi tanda silang sebagai isyarat jaga jarak, walaupun cuci tangan dan pakai masker menjadi idola dan syarat mutlak.
Situasi mencekam, panik karena suara ambulance, panik karena penolakan warga atas orang yang positif masuk dalam pemukiman, huru-hara pemalangan rumah sakit atau perkantor jika ada orang tertular korona, suasana kian normal.
Apakah semua ini harus kita rayakan seperti menyambut pesta kemenangan? Jangan. Kita harus tetap beriktiar, waspada, hati-hati, tidak boleh eforia, apalagi sampai ‘lupa daratan’ dan ‘mabuk kemenagana’, menikmati kemenagan atas kemampuan kita menekan korona.
Masyarakat, Satgas Covid-19, TNI, Polri, tenaga kesehatan, tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, paguyuban-paguyuban, organisasi masa mampu memberikan sosialisasi mendorong warga untuk menekan amukan korona di gelombang kedua. Tetapi kita harus ingat seingat-ingatnya kita ini keberhasilan bersama, dan ingat seingat-ingat bahwa korona bisa menjadi sejata bumerang yang kembali menyerang dan menerkam kita. Ingat korona diam-diam bisa kembali menyerang dan menebar duka yang lebih panjang dari korona gelombang pertama dan kedua.
Fakta empiris dari Satgas COVID sudah membuktikan, meluasnya korona di dunia tak cukup dua gelombang. Tiga gelombang pandemi telah terjadi, yakni pada Januari 2021 sebagai puncak, pertama, April 2021 puncak kedua, dan Agustus-September 2021 puncak ketiga. Itu pun belum sepenuhnya selesai karena sejumlah negara di dunia dan daerah di Indonesia masih dibuat repot dengan meningkatnya kasus positif.
Jika menilik fenomena tersebut, Indonesia jelas belum aman. Justru sebaliknya, negeri ini berada dalam ancaman besar karena baru mengalami dua gelombang pandemi. Gelombang ketiga yang dampaknya tak kalah dahsyat bisa datang setiap saat.
Potensi itulah yang disadari betul oleh pemerintah maupun para epidemiolog. Bahkan, menurut ahli epidemiologi, gelombang ketiga diprediksi bakal terjadi akhir tahun.
Prediksi itu bukan cerita fiksi untuk menakut-nakuti. Ia adalah pijakan bagi kita semua untuk menyiapkan antisipasi sejak saat ini, dan yang paling penting berusaha agar tidak terealisasi.
Gelombang ketiga pandemi covid-19 memang telah menjadi fenomena dunia. Akan tetapi, ia bukanlah keniscayaan. Ia bisa melanda negeri ini, bisa juga tidak. Semua tergantung kita dalam menyikapinya.
Gelombang ketiga akan terjadi jika kita mabuk dalam euphoria, Â dan merasa kehidupan sudah normal lalu mengesampingkan 5M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan dengan sabun, menghindari kerumunan, mengurangi mobilitas). Gelombang ketiga akan memapar jika kita mengendurkan 3T (tracing, testing, dan treatment).
Gelombang ketiga akan menyerang jika pemerintah membuka seluas-luasnya pembatasan bagi mobilitas dan kegiatan. Bangsa ini masih butuh pengetatan aktivitas sebab kekebalan komunal masih jauh dari realitas karena 80% penduduk belum mendapatkan vaksin lengkap.
Pada konteks itulah kita semua, tidak hanya jurnalis dan media yang mengingatkan pemerintah untuk terus mempertahankan politik intervensi. Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) terbukti ampuh meredam covid-19 sehingga harus dipertahankan dengan level tertentu.
Pelonggaran di segala sektor memang diperlukan demi kebangkitan ekonomi, tetapi jangan biarkan sampai lepas kendali. Gelombang ketiga pandemi bukan ilusi, tetapi kita semua bisa menangkalnya agar tak sampai terjadi.
Pakai masker, bagi waga yang belum vaksinasi, ayo berikan penjelasan yang benar dan baik pentingnya vaksinasi, agar mereka memahami dan mengikuti vaksinasi. Sembako hanya penyemangatan, tetapi vaksinasi pakai masker adalah utama untuk membentingi kita, keluarga, tetangga dan orang lain dari serangan korona.
Jangan Mabuk Kebebasan, Badai itu Belum Berlalu, Ayo Tangkal Gelombang Ketiga(*pemred papuadalamberita.com)