Papua Barat

Pertemuan Tujuh Petuanan Hanya Untuk Menetapkan Tapal Batas dan Tempat Keramat

236
×

Pertemuan Tujuh Petuanan Hanya Untuk Menetapkan Tapal Batas dan Tempat Keramat

Sebarkan artikel ini
Print

Perwakilan 7 Petuanan Dari Kiri Ke Kanan,  Johanis Komber Petuanan Fatagar Kapitan Kotabali, Yahaya Mury Petuanan Arguni, Andarias Tangghama petuanan Fatagar,Abner Hegemur wali Petuanan Pikpik Sekar, Muhamad Tahir Patiran, Petuanan Ati-Ati, Johan Patiran petuanan Raja Wertuar, dan Nafraris Gwas Gawas Petuanan Arguni. FOTO : RICO LET’s./papuadalamberita.com.

PAPUADALAMBERITA.COM. FAKFAK –  Kerapatan adat 7 petuanan yang difasilitasi oleh Yayasan AKAPe Foundation melalui kerjasamanya dengan Yayasan Penelitian Inovasi Bumi (INOBU) yang berlangsung di Grand Hotel sejak 29 Agustus hingga 3 September 2020, ternyata menuai protes dari sekelompok orang yang mengatas-namakan 143 Marga Suku Mbaham Matta Fakfak, mereka pun menggelar aksi protes pada Senin (31/08/20) di halaman Kantor DPRD Fakfak, dan langsung bertatap muka dengan beberapa anggota DPR untuk menyerahkan pernyataan sikap mereka, yang langsung di terima oleh Wakil Ketua II DPR Iskandar Tasya, A.md.T.

Ada pun isi pernyataan protes mereka antara lain menyiratkan secara tegas penolakan klaim hak ulayat marga oleh siapa pun; mereka pun meminta pemerintah untuk tidak boleh mendorong peraturan daerah yang berhubungan dengan hak ulayat marga; selain itu mereka pun meminta kepada DPRD Fakfak agar tidak boleh menetapkan peraturan yang berhubungan dengan hak ulayat marga tanpa berkonsultasi serta atas persetujuan para tetua marga.

Menanggapi aksi tersebut, Rabu (02/09/20) perwakilan 7 petuanan menggelar konferensi pers guna meluruskan polemik tersebut, perwakilan 7 petuanan di Fakfak masing – masing  Johanis Komber Petuanan Fatagar Kapitan Kotabali, Yahaya Mury Petuanan Arguni, Andarias Tangghama petuanan Fatagar. Abner Hegemur wali Petuanan Pikpik Sekar, Muhamad Tahir Patiran dari Petuanan Ati-Ati, Johan Patiran petuanan Raja Wertuar, dan Nafraris Gwas Gawas Petuanan Arguni.

Mereka yang wakili 7 petuanan di Fakfak, pada intinya menegaskan, sesungguhnya kerapatan adat 7 petuanan yang berlangsung di Hotel Grand Papua Fakfak, tidak membeicarakan hak ulayat marga – marga, kerapatan adat ini hanya membahas terkait batas wilayah adat 7 petunanan yang ada di Kabupaten.

Hal itu seperti ditegaskan, Yohanes Lober dari petuanan Fatagar sekaligus selaku Kapitan Fatabali menjelaskan bahwa sejak tanggal 29/08 dirinya mengikuti pertemuan karena di undang oleh para nadi melalui Yayasan INOBU dan AKAPe Faundation dalam rangka membahas tapal batas wilayah petuanan, bukan membahas mengenai hak-hak marga, hak-hak makan, bahkan tidak pula berbicara tentang pohon pala dan biji pala. Karena sejak zaman dahulu kita hanya mengetahui para Nadi memiliki wilayah, namun titik batas wilayah Nadi yang tepat belum diketahui secara pasti.

“Sejak tanggal 29/08 kami mengikuti pertemuan di undang oleh para nadi bersama Yayasan INOBU dan AKAPe Faundation untuk membahas tapal batas wilayah petuanan, dan tidak sedikitpun membahas tentang hak-hak marga, hak-hak makan, bahkan tidak berbicara tentang pohon pala dan biji pala. Karena sejak zaman dahulu kita hanya mengetahui para Nadi memiliki wilayah, namun titik batas wilayah Nadi yang tepat belum diketahui secara pasti ” terang Lober.

Lebih jauh ditegaskan oleh Yahya Muri dari petuanan Arguni bahwa proses yang difasilitasi oleh INOBU dan AKAPe Foundation ini, sesungguhnya hanya dalam rangka membahas tapal batas wilayah petuanan saja, sehingga harapannya melalui petuanan ini, kita semua dapat mengenal dan mengetahui jati diri kita sebagai anak adat. Selain itu dengan mengetahui batas wilayah petuanan ini tentu dapat membantu pemerintah dalam mengatasi sejumlah persoalan yang terjadi di masyarakat. Karena pemerintah akan bersinergi dengan petuanan untuk mengatasi sejumlah persoalan-persoalan yang dialami oleh masyarakat adat secara khusus.

Kerapatan Adat 7 Petuanana Yang Berlangsung Di Hotel Grand Papua Fakfak Dengan Dihadiri Raja – Raja, Kerapatan Adat 7 Petuananan Ini di Fasilitasi INOBU dan AKAPe. FOTO : RICO LET’s./papuadalamberita.com.

“proses yang difasilitasi oleh INOBU dan AKAPe Foundation ini, sesungguhnya hanya dalam rangka membahas mengeani tapal batas wilayah petuanan saja, sehingga harapannya melalui petuanan ini, kita semua dapat mengenal dan mengetahui jati diri kita sebagai anak adat. Selain itu dengan mengetahui batas wilayah petuanan ini tentunya dapat membantu pemerintah dalam mengatasi sejumlah persoalan yang terjadi di masyarakat. Karena pemerintah akan bersinergi dengan 7 petuanan yang ada untuk mengatasi sejumlah persoalan-persoalan yang dialami oleh masyarakat adat secara khusus” Tegas Yahya.

Penegasan yang sama pula terlontar dari Andarias Tanggahma dari petuanan Raja Fatagar, kehadiran mereka tidak lain hanya untuk membahas batas wilayah petuanan yang dalam Bahasa Fakfak “Mbima mbi Enten”. Dikatakan pula bahwa Raja hadir di tanah Mbaham ini jauh sebelum zaman belanda sehingga digenerasi ini banyak yang belum mengetahui tapal batas wilayah petuanan.

“kehadiran mereka tidak lain hanya untuk membahas batas wilayah petuanan yang dalam Bahasa Fakfak “Mbima mbi Enten”. Raja hadir di tanah Mbaham ini jauh sebelum zaman belanda sehingga digenerasi ini banyak yang belum mengetahui tapal batas wilayah petuanan”. Tegas Andarias

Apnel Hegemur yang juga selaku wali petuanan Pikpik Sekar menjelaskan, dalam agenda kerapatan tujuh petuanan pemerintahan adat di Fakfak ini bertujuan untuk memetakan teritori wilayah antar tujuh petuanan yang ada di masyarakat kultur Mbaham-Matta. Ini merupakan tujuan yang baik karena keberadaan nadi dalam tutur Bahasanya wajib diketahui oleh kita semua terutama anak-anak suku Mbaham-Matta dan solidaritas keluarga besar yang ada di Papua. Selain itu yang perlu diketahui bahwa di wilayah Mbaham-Matta sesungguhnya telah terbentuk struktur tahta masyarakat kultur yang terbangun sejak lama. Ini jauh sebelum pemberlakuan UU No. 21 Tahun 2001 yang mengisyaratkan keberadaan masyarakat kultur dalam konteks Lembaga-lemabaga Adat.

“Agenda kerapatan tujuh petuanan pemerintahan adat di Fakfak ini bertujuan untuk memetakan teritori wilayah antar tujuh petuanan yang ada di masyarakat kultur Mbaham-Matta. Ini merupakan tujuan yang baik karena keberadaan nadi dalam tutur Bahasanya wajib diketahui oleh kita semua terutama anak-anak suku Mbaham-Matta dan solidaritas keluarga besar yang ada di Papua. Selain itu yang perlu diketahui bahwa di wilayah Mbaham-Matta sesungguhnya telah terbentuk struktur tahta masyarakat kultur yang terbangun sejak lama. Ini jauh sebelum pemberlakuan UU No. 21 Tahun 2001 yang mengisyaratkan keberadaan masyarakat kultur dalam konteks Lembaga-lembaga Adat” Ungkap Apnel

Hegemur juga menambahkan bahwa Kerapatan 7 Petuanan ini sesungguhnya tidak membatalkan hak kesulungan marga, atau hak ulayat marga. Hegemur juga menyesali tindakan aksi protes yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatas-namakan 143 Marga Mbaham-Matta, mengingat forum yang dilaksanakan saat ini sesungguhnya bersifat terbuka untuk seluruh masyarakat adat Mbaham-Matta dan tidak bermaksud mengeliminasi hak-hak marga.

“kerapatan tujuh petuanan ini sesungguhnya tidak membatalkan hak kesulungan setiap marga di tanah Mbaham ini atau pun hak ulayat marga. Saya sangat menyesali aksi demo yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatas-namakan diri mereka sebagai perwakilan 143 Marga Mbaham-Matta, karena forum yang dilaksanakan saat ini sesungguhnya bersifat terbuka untuk seluruh masyarakat adat Mbaham-Matta dan tidak bermaksud mengeliminasi hak-hak marga”, tegas Hegemur.(DN/RL 07)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *