Ilustrasi Foto: Apel gelar pasukan di Polda Papua Barat. PAPUADALAMBERITA. FOTO: RUSTAM MADUBUN.
PAPUADALAMBERITA.COM. MANOKWARI – Saya dari keluarga besar sekitar ratusan ribu kami yang tersebar dari Sabang hingga Merauke (Papua). Saya lahir 1 Juli 1946.
Sebetulnya saya sudah ada sejak zaman kerajaan majapahit. Saat itu, Patih Gajah Mada dengan pasukan khusus pengamanan disebut Bhayangkara.
Saya tumbuh, dewasa, untuk melindungi, mengayomi, melayani rakyatku, saya sebagai penjaga ketertiban masyarakat harus basah di jalan dan seragamku kembali kering dibadanku.
Saya harus bertarung dengan waktu sesuai jam kerja, waktu saya silih berganti mulai dari pagi hingga sore, sore hingga pagi lagi.
Saya kadang ada di ruangan beraAC yang bukan miliku, seperti menjaga kantor-kantor pemerintahan.
Saya juga harus tidur bersama dinginnya di hutan rimba, Aceh, Poso, hingga Papua makan seadanya.
Tetapi ganasnya hutan Aceh, Poso dan ganasnya malaria di Papua Saya meningkmati jalani itu dengan bangga. Ibuku, ayahku, istriku, anak-anaku, keluargaku, bahkan sahabat dan tetanggaku bangga melihatku.
Keluarga kadang menteskan air mata, membuatku ikut sedih, karena kadang sehari, seminggu, sebulan, enam bulan, setahun bahkan dua tahun saya tidak pulang rumah, saya di hutan belantara.
Saya selalu berusaha menyenangkan hati mereka. Kalau saya baik-baik saja di hutan, di kantor dan di tempat tugas entah di mana.
Kadang sedih, ketika pulang mereka sudah tidur, ketika bangun mereka sudah ke sekolah, ketika mereka pulang sekolah saya belum pulang, mereka senang kalau saya sakit biar bersama mereka di rumah saja, mungkinkah seperti itu cerita saya?
Itu ketika saya serumah, bagaimana jika saya yang tidak sekota, atau saya dihutan.
Tidak sedikit teman saya yang menjaga keutuhan, kedaualatan negara dan bangsa dari Aceh, Poso, di pegunungan Papua harus pulang tidak lengkap, ada yang mendahului diantar ambulance kematian.
Berpulang bukan karena sakit, tetapi harus meninggalkan orang yang dicintai karena tertembak gerombolan penghiayanat NKRI.
Kemudian istri saya, ayah saya dan ibu saya, atau anak-anak saya ketika itu menerima selembar kain merah putih penutup petih jenazah setelah diturnkan dalam liang lahat, sebagai penghormatan bahwa saya meninggal dengan status anumerta, karena gugur dalam tugas negara.
Kepergian saya, membuat banyak orang bersedih, tidak hanya pimpinan, institusi, tetangga atau sahabat saya.
Tetapi kesedihan rasanya berbeda yang dialami ayah, ibu, istri anak saya yang merasa kehilangan secara permanen, saya sebagai tulang pungung keluarga.
Karena merekalah yang kehilangan selamanya, tidak lagi melihat senyum saya, tidak lagi memperoleh uang jajan dari saya, atau ibuku tidak bertanya lagi kamu tugas di mana, kapan balik dan seterusnya.
‘’Oh Saya, polisiku sayang,’’ gumamku.
Jadi, mereka sangat marah, sangat malu, kalau saya bandel, saya merusak nama baik institusi, nama satuan, nama baik pimpinan, nama baik teman-teman saya.
Karena tidak hanya saya dan keluarga menjadi malu, tetapi satu satuan di republik ini menjadi malu karena perbuatan saya.
Bukan lagi saya yang dimalu-maluin, tetapi pimpinanku, institusiku, teman-temanku yang menerima getah.
Ibaratnya, saya yang menikmati manisnya buah nangka, tetapi getahnya diperoleh lembagaku, pimpimnaku dan rekan-rekanku.
Bahkan, walaupun saya telah menjalani hukuman atau sangsi, dan bukan sebagai keluarga besar yang terlahir di 1 Juli, tetapi atas perbuatannku yang mencoreng nama baik institusiku sulit terlupakan.
Sesuai ketentuan, 18 Agustus 2000, MPR mengeluarkan Tap MPR No. VI/MPR/2000 tentang pemisahan Saya dan TNI, sesuai dengan peran dan fungsi dari masing-masing kelembagaan yang terpisah.
Pemisahaan ini membuat saya lebih leluasa mengatur diriku sendiri, mungkin karena sudah mandiri kadang saya bertindak kasar, marah, saya harus menerima hukuman dari internal yang disebut Propam.
Hukumanku mungkin hanya diketahui keluargaku, tidak diketahui tetangga, masyarakat atau teman-teman yang dulu Saya bersamanya.
Tetapi, kenapa akhir – akhir ini saya dinilai sangat bandel, jahat, karena saya sebagai ayah yang seharusnya melindungi, menjaga dan mengayomi keluarga seisi rumahku, tetapi saya ‘kalap’ “lalai” bertindak salah.
Saya tidak hanya menganiaya, di dakwa jaksa pada sidang ikut terlibat dalam kematian “anaku” sendiri.
Bahkan di sejumlah daerah, Saya bertindak tidak patut, dan mencoreng nama institusiku, terjadi disaat persoalan pembunuhan terhadap ‘’anak sendiri’’ dalam penaganan peradilan umum.
Disaat masih “wangi, wanginya” aroma Duern 3 yang menusuk hidung seantero Indonesia, Saya dituding lagi jual beli bubuk-bubuk putih halusinasi.
Sehari setelah kejadian Saya, tiba-tiba Presiden RI Ir Joko Widodo memanggil kami semua dari sambang sampai Merauke berkumpul di Istana Sabtu (15/10/2022).
Di Istana yang selama ini saya hanya nonton di TV Sabtu kemarin saya berada disitu, Saya dan teman sejawat diingatkan, tidak boleh pakai topi atau pet, tidak boleh bawa tongkat komando, tidak boleh bawa handphone (telepon genggam), datang ke istana hanya membawa alat tulis.
Perintah itu mengingatkan Saya saat masih di sekolah dasar, ketika di suruh pak guru balik sekolah sore, datang bawa buku dan pinsil saja, kita ada belajar tambahan, kenangku waktu itu.
Karena kami semua mau diberi wejangan dari RI 1, salah satu wejangan orang tua kami itu adalah
penyederhanaan PRESISI, seperti Polri sebagai pelindung, Polri sebagai pengayom dan Polri sebagai pelayan.
Yang diingatkan Presiden ini sebetulnya sudah tersirat dalam Tri Brata Polri yaitu:
- Berbakti kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan undang-undang dasar 1945.
- Senantiasa melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban.
Jokowi juga memberi isyarat kepada kami berpenampilan sederhana, jangan berpenampilan dengan gaya hidup mewah, karena menurut Pak Jokowi gaya hidup mewah berlebihan akan menimbulkan kecemburuan sosial, saya pikir-pikir sangat benar juga sih.
Saya merenung akhir- akhir ini memang banyak persoalan yang menyerat nama lembaga Saya, sampai-sampai begitu banyak prestasi, kebaikan-kebaikan yang Saya bersama teman-teman Babinkmatibmas berbuat dari kampung, desa, hingga ke luar negeri seakan tenggelam, hilang seketika.
Hal yang terbaru menjadi sorotan lagi, ketika Persebaya Surabaya Vs Arema Malang, duka di Stadion Kanjuruan Malang, tidak sedikit rekan, dan pimpinan Saya bukan hanya dicopot dari jabatan, tetapi ikut disalahkan dan akan menerima peradilan umum.
‘’Oh Polisiku Malang, Polisiku Sayang,’’
Andaikan, waktu di Stadion Kanjuruan saya tidak bertindak menggunakan pelontar gas air mata, pasti saya disalahkan juga, kenapa hanya nonton, tidak direlai dan lain-lain, lebih salah lagi.
Disaat bertindak dan tidak semua korban karena gas air mata, Saya lagi dalam sorotan buruk, oh polisi, malang nasipku.
Namun, Saya bersabar, saya berbesar hati ketika Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, bahwa bagaimana pun keberadaan polisi tetap dibutuhkan.
Mahfud dalam satu pertemuan mengutip pendapat cendekiawam Islam Ibnu Taimiyah yang sudah dimodifikasi yaitu; Lebih baik 60 tahun dengan polisi jelek, dari pada semalam tanpa Polisi. Semalam saja tidak ada polisi, besoknya negara hilang,” sebutnya.
Saya juga masih berbesar hati ketika pertemuan kami bersama Presiden RI ke-7, Jokowi dengan lantang mengakui keberhasil kami dari Sabang sampai Merauke membantu pemerintah di masa pandemi Covid-19, mulai dari masker, vakasinasi COVID-19 hingga pemulihan ekonomi, kami lah garda terdepan.
Tetapi kenapa Saya dinilai begitu “durhaka!” Sudah begitu hinahka kami? Sampai-sampai ada yang berpendapat Saya dikembalikan lagi ke barak back to TNI (kembali ke TNI, red).
Memang saya menyadari, persentase kepercayaan masyarakat untuk Saya dan teman-teman dari 80,2 persen pada November 2021 menurun menjadi 54 persen pada Agustus 2022.
Saya berpikiri positif saja, bahwa pandangan orang di alam demokrasi seperti itu wajar, karena mereka mencintai polisi untuk lebih baik, mencintai Indonesia yang lebih baik, dan bagi saya, kami dihina kami tidak runtuh, walaupun di sanjung kami tidak melayang.
Karena tugas kami adalah membawa amanah rakyat, kalau ada satu, dua, tiga atau seratus yang buruk, tetapi jangan lupa masih banyak polisi yang berprilaku baik, sholeh. Polisiku Malang, Polisiku Sayang.
Jadi, dari tatapan datar sang presiden di istana, tidak menjadi ancaman bagi kami, sebagai panglima tertinggi kami Ia prihatin dan mengerutu, bukan karena membenci, tetapi Ia tidak ingin kami terus jatuh, terus terpuruk, terus dikeluhkan warga.
Ia ingin kami harus bangkit, bekerja cepat, murah dan memberikan yang terbaik untuk warga.
Nasehatnya untuk Saya dan teman-teman untuk ingat tugas utama kami dalam melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat.
Maaafkan kami, kami berjanji akan lebih baik lagi. Andaikan saya polisi.(rustam madubun)