Nasional

Gerakan Satu Bangsa Minta TNI-Polri Tindak Perongrong Eksistensi Negara

146
×

Gerakan Satu Bangsa Minta TNI-Polri Tindak Perongrong Eksistensi Negara

Sebarkan artikel ini
Print
INISIATOR Gerakan Satu Bangsa, Stefanus Asat Gusma (kanan) memberikan keterangan pers di Jakarta, Minggu (19/5). Gusma menyampaikan sikap politik dalam rangka menyikapi situasi politik nasional menjelang pengumuman hasil Pilpres dan Pemilu Legislatif 2019. FOTO: ANTARA/ISTIMEWA

PAPUADALAMBERITA.COM. JAKARTA – Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Gerakan Satu Bangsa meminta TNI dan Polri menindak tegas setiap aksi yang merongrong kewibawaan negara serta mencgancam eksistensi NKRI sebagai negara hukum.

“Kami juga meminta TNI-Polri mengamankan proses pengumuman dan penetapan hasil Pemilu oleh KPU secara profesional demi menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat,” kata inisiator Gerakan Satu Bangsa, Stefanus Asat Gusma dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu.

Gusma mengatakan hal itu terkait situasi politik nasional yang memanas menjelang pengumuman hasil rekapiltulasi penghitungan suara manual berjenjang dan penetapan paslon presiden dan caleg terpilih pada tanggal 22 Mei 2019 oleh KPU.

Dia menyayangkan adanya kesan mencekam menjelang pengumuman hasil Pemilu, padahal seharusnya pengumuman hasil Pemilu harus disambut dengan sukacita dan meriah atas terpilihnya presiden dan wakil presiden serta wakil rakyat untuk lima tahun ke depan.

“KPU adalah lembaga yang dibentuk atas perintah UU yang komisionernya dipilih DPR, untuk menyelenggarakan Pemilu. Maka apa pun yang nantinya diputuskan oleh KPU seharusnya dihormati dan diterima oleh kita bersama,” ujarnya.

Dia menilai apabila ditemukan adanya dugaan kecurangan Pemilu, sudah ada aturan hukum yaitu mengajukan gugatan ke Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menyelesaikan sengketa hasil Pemilu.

Menurut dia, Gerakan Satu Bangsa juga mengimbau kepada para aktor dan tokoh politik untuk tunduk dan taat kepada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan segera menghentikan upaya memprovokasi masyarakat.

“Jangan membenturkan rakyat dengan aparat negara yang bukan tidak mungkin akan memakan korban dari kedua belah pihak,” tegasnya.

Dia menegaskan sebagai warga yang hidup dalam negara hukum, semua harus patuh terhadap hukum yang berlaku.

Menurut dia, sebagai negara hukum maka tidak ada satu pun warga yang boleh menyelesaikan permasalahannya di luar hukum apalagi dengan cara-cara yang anarkistis dan jelas-jelas melanggar hukum.

“Tuduhan kecurangan diikuti dengan konsolidasi tokoh dan aktor politik yang dengan sengaja dan terbuka menciptakan situasi politik nasional yang semakin keruh dengan ungkapan dan ajakan melakukan makar, ‘people power’ dan revolusi adalah upaya menciptakan situasi yang mencekam bagi rakyat,” tuturnya.

Dia menilai para aktor dan tokoh politik tersebut semestinya kita harapkan dapat memberikan kesejukan dalam berdemokrasi dan menjadi contoh kedewasaan berpolitik dan jiwa kesatria.

Menurut Gusma, gerakan penggalangan massa untuk mendelegitimasi KPU, Bawaslu dan MK serta menolak hasil Pemilu tidak boleh dipandang sebagai gerakan menegakkan demokrasi rakyat.

Dia menilai gerakan itu lebih merupakan gerakan politik syahwat kekuasaan yang merongrong kewibawaan negara dan mengancam eksistensi NKRI sebagai negara hukum.(antara/pdb)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *