PAPUADALAMBERITA.COM. TIMIKA-Matahari perlahan mengintip dari balik gumpalan awan di Timur, membasuh ujung Jalan Bandar Udara Moses Kilangin, Timika, dengan cahaya keemasannya. Ahad itu, 27 April 2025, pukul 06.30 WIT, langit bersih seolah baru selesai dicuci tangan-tangan malaikat.
Jalan raya yang membentang lebar itu, terbagi dua jalur, dipenuhi deretan kendaraan yang berbaris rapi di kanan.
Trotoar bergemuruh pelan oleh derap langkah manusia—warga Timika, tua-muda, laki-laki dan perempuan, dengan pakaian olahraga berwarna-warni, berjalan bolak-balik, menghidupkan pagi dengan gerak dan tawa.
Di balik pagar kuning yang membentang sepanjang 500 meter dengan lebar lima meter itu, kehidupan lain berdenyut.
Anak-anak kecil berlari riang, sesekali berhenti untuk memukul kok bulu tangkis yang melayang-layang di udara pagi. Para remaja dan orang dewasa berlari-lari kecil, ada pula yang jogging dengan irama napas teratur, seakan mengejar harapan yang ringan melayang di udara segar.
Waktu berdetik tanpa hirau. Pukul 07.00, jumlah manusia semakin menebal. Setiap sudut berpadu dengan suara, gerak, dan kehidupan. tengah kesibukan itu, sesekali raungan pesawat membelah langit, meninggalkan landasan pacu Bandar Udara Moses Kilangin, menggetarkan tanah, namun tak menggoyahkan semangat orang-orang yang berolahraga di bawahnya.
Di perempatan Cek Poin PT Freeport Indonesia, perusahaan tambang raksasa dunia, lokasi ini telah menjadi ruang publik yang dicintai warga.
Tempat ini, di pagi dan sore, berubah menjadi taman raksasa di tengah kota—tempat tubuh bergerak, paru-paru bernapas lega, dan pikiran menemukan tenangnya.
Hari itu adalah hari kelima kehadiran saya di Timika. Di tengah kunjungan keluarga, saya menyempatkan diri menyusuri jalan ini. Ada semacam magnet di udara, yang menarik langkah saya untuk ikut menyelami denyutnya.
Saya yang melihat suasana di pagi tadi ikut senang.
“Senang sekali warga diijinkan jogging di sini,” kata saya dalam senyum seiring embusan angin pagi.
Karena selain aman dari kendaraan, udara di sini terasa sangat bersih, segar sekali.
Saya menarik napas panjang. Dan memang benar. Udara yang saya hirup begitu jernih, sejuk, serasa menyusup hingga ke sumsum tulang. Sejenak, waktu seolah berhenti. Di bawah langit biru Timika, di ujung jalan panjang ini, manusia, alam, dan mesin terjalin dalam harmoni sederhana, namun sungguh menggetarkan.(rustam madubun)