PAPUADALAMBERITA.COM, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku tidak
merasa ada masalah jika kebijakan anggaran pemerintah disebut kebijakan yang
bernuansa populis di tengah tahun politik ini.
Menanggapi pertanyaan pengusaha Chairul Tanjung dalam sebuah diskusi di
Jakarta, Kamis, Menkeu menjelaskan makna kebijakan pemerintah yang populis
sebenarnya positif karena kebijakan tersebut pasti ditujukan untuk kepentingan
rakyat.
Tidak hanya di tahun politik seperti 2019 ini, kata Sri Mulyani, kebijakan
anggaran pemerintah sejak beberapa tahun lalu juga banyak berkaitan dengan
populisme, seperti peningkatan anggaran infrastruktur, peningkatan alokasi
anggaran untuk kesehatan, dan juga untuk pendidikan.
“Populis itu kan rakyat. Nah kebutuhan rakyat itu memunculkan berbagai ide
utuk masyarakat agar bisa dipenuhi dan memenuhi harapan. Nah caranya itu bisa
bermacam-macam,” kata Sri.
Menurutnya, kebijakan populis tidak perlu dipermasalahkan jika memang terbukti
berkenaan dengan kepentingan rakyat. Hal itu seperti masifnya pembangunan
infrastruktur yang juga menyasar proyek infrastruktur di desa seperti pengairan
untuk bendungan, dan juga jalan desa.
“Kalau Pak Jokowi sampaikan ke masyarakat misalnya ingin bangun
infrastruktur. Itu juga kebijakan populis, karena masayarakat juga membutuhkan
irigasi, jalan dan lainnya. Dan pengusaha juga sudah tahun kan kalau
infrastruktur kita ini sangat tertinggal,” ujar dia.
Hal yang patut menjadi sorotan di tahun politik ini, kata dia, adalah jika
kebijakan anggaran populis namun tidak memperhatikan jangka panjang dan
dampaknya terhadap struktur perekonomian domestik.
Misalnya, dia mencontohkan di Venezuela ketika pemerintah setempat memberikan
banyak komoditas minyak ke rakyat tanpa kehati-hatian hanya untuk mendongkrak
popularitas.
“Banyak minyak kemudian diberikan secara gratis kepada rakyat dan negera
tetangga, sehingga ketika harga minyak jatuh, mereka bangkrut dan APBN
bangkrut,” ujarnya.
Sedangkan di Indonesia, ketika kebijakan anggaran tetap untuk kepentingan
rakyat namun kesehatan fiskal tetap terkendali. Pada 2018, kata dia, menjadi
bukti karena defisit APBN 2018 justru bisa diturunkan ke 1,84 persen PDB.
“Jadi tidak usah khawatir, kita populis tapi sustainable
(berkelanjutan),” ujarnya.
Selain itu, meskipun kebijakan anggaran populis, namun akuntabilitas dan
transparansi di Indonesia tetap terjaga.(ant)