FeaturePapua Barat

Nyepi, Takbir, dan Senyuman Keluarga: Sebuah Jeda untuk Cinta dan Kebahagiaan

623
×

Nyepi, Takbir, dan Senyuman Keluarga: Sebuah Jeda untuk Cinta dan Kebahagiaan

Sebarkan artikel ini
hari-hari libur di akhir Maret 2025 dan Awal April 2025. FOTO: RUSTAM MADUBUN.PAPUADALAMBERITA
Print
  • Di antara bisikan angin akhir Maret dan cahaya lembut awal April, waktu melambat, memberi ruang bagi hati yang ingin pulang. Nyepi datang dengan keheningannya, Idul Fitri mengetuk dengan takbirnya, dan keluarga menyambut dengan senyum hangat yang dirindukan.

PAPUADALAMBERITA.COM.MANOKWARI – Langit Maret segera beranjak, membawa serta kabar tentang jeda panjang yang jarang singgah dalam kalender kerja.

Dari 28 Maret hingga 7 April 2025, waktu seakan berhenti sejenak, memberi ruang bagi jiwa-jiwa yang rindu akan ketenangan, kebersamaan, atau mungkin sekadar pelarian dari hiruk-pikuk kesibukan.

Lembaran awal libur dibuka dengan Hari Suci Nyepi pada 28 Maret—saat dunia memilih diam, membiarkan semesta berbicara lewat keheningan.

Sehari setelahnya, umat Hindu merayakan Tahun Baru Saka 1947, merenungi perjalanan yang telah berlalu dan menata langkah untuk hari-hari yang akan datang.

Tak lama berselang, gema takbir menyusul.

Idul Fitri 1446 H tiba pada 31 Maret dan 1 April, membawa kebahagiaan bagi mereka yang telah menempuh sebulan penuh ibadah.

Pemerintah pun mengukuhkan momen ini dengan cuti bersama pada 2, 3, 4, 5, dan 7 April, memberi kesempatan bagi mereka yang ingin bersimpuh dalam hangatnya rumah atau melangkahkan kaki ke tanah yang lebih jauh.

Tanggal 6 April, yang jatuh pada Minggu (Ahad), menjadi alunan terakhir sebelum akhirnya rutinitas kembali menjemput.

Dan pada 8 April 2025, roda perkantoran kembali berputar, mengantar para pekerja ke ritme biasa.

Libur panjang ini bukan sekadar deretan tanggal merah di kalender, melainkan sebuah undangan untuk melambat, meresapi, dan memilih: kemana hati ingin berlabuh di antara hari-hari yang luas terbentang?

Di balik dua perayaan ini, kemenangan bukan sekadar milik mereka yang telah menahan diri atau menempuh perjalanan spiritual, tetapi juga kemenangan toleransi, saling memaafkan, dan kehangatan yang menyatukan perbedaan.

Dalam satu waktu, doa-doa berbisik dalam sunyi, sementara ucapan selamat menggema dalam suka cita, merangkai kebersamaan yang indah dalam keberagaman.

Inilah jeda yang tak sekadar libur panjang—tetapi kesempatan untuk kembali pada cinta yang sering terlupa, pada kebahagiaan yang sederhana, namun begitu bermakna.

Setelah menikmati libur panjang dalam semangat toleransi, hendaknya momen ini menjadi pemantik semangat untuk kembali bekerja dengan penuh dedikasi.

Bukan sebaliknya, tenggelam dalam kemalasan dan menambah libur di luar ketentuan.

Pemerintah telah memberikan kelonggaran dengan merangkai hari-hari istimewa dalam kalender, kini saatnya membalasnya dengan tanggung jawab dan semangat baru yang menyala-nyalam dalam melayani masyarakat.(rustam madubun)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *