Ilustrasi – Pemilihan Umum serentak tahun 2024. PAPUADALAMBERITA. FOTO: ANTARA/Ilustrator Abdullah Rifai
PAPUADALAMBERITA.COM. JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara Universitas Udayana Jimmy Z. Usfunan menyampaikan bahwa sistem proporsional terbuka dalam pemilihan calon legislatif menimbulkan ongkos politik yang tinggi.
“Apalagi besarnya modal yang digunakan, dengan asumsi yang besar menjadi pemenang, sementara caleg yang lain juga berani melakukan adu modal, akibatnya cost politic menjadi makin besar,” kata Jimmy Usfunan dalam keterangannya diterima di Jakarta Rabu.
Hal tersebut lanjut dia menjadikan para calon akhirnya rela berutang atau bahkan menggadaikan rumah dan barang-barang berharga lainnya demi kemenangan.
Secara faktual jika ditelusuri, menurut Jimmy maka banyak anggota DPR RI serta anggota dewan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota menggadaikan SK jabatannya ke bank pasca-dilantik.
“Coba saja dikonfirmasi para anggota DPR dan DPRD, hal ini dilakukan demi membayar utang dari biaya yang telah dikeluarkan,” kata dia
Dia mengatakan penerapan sistem proporsional terbuka dalam pemilu menyebabkan beberapa persoalan lain serta keresahan sosial.
Salah satu keresahan sosial tersebut terjadi karena tingginya surat suara tidak sah, bahkan pada 2019 lalu tercatat 17.503.953 suara tidak sah untuk Pemilu DPR.
“Dengan fenomena ini, maka akan memunculkan sikap apatisme masyarakat nantinya dalam memilih pada Pemilu 2024, karena khawatir sudah menggunakan hak pilih, namun suaranya menjadi suara yang terbuang,” katanya.
Tidak hanya itu, menurutnya dengan modal besar yang dikeluarkan masing-masing calon legislatif akan meningkatkan ketegangan kompetisi, bahkan berujung konflik dengan teman sendiri pada satu partai.
Seperti yang terjadi pada 2019 lalu, adanya penganiayaan terhadap sesama calon partai, dalam pemilihan anggota DPR RI satu daerah pemilihan di Provinsi Jawa Timur, begitu juga penganiayaan calon legislatif di Kabupaten Tanah Bumbu, yang juga satu partai.
“Bayangkan saja, jika konflik itu melibatkan para pendukung, bukankah akan menimbulkan konflik sosial yang besar di masyarakat. Sementara saat ini, Indonesia memiliki 514 kabupaten/Kota dan 38 Provinsi, tentunya ini bisa jadi masalah besar nantinya,” kata Jimmy.
Keresahan sosial lainnya akibat sistem proporsional terbuka ini, yaitu banyak lagi calon legislatif yang gagal mengalami depresi, gangguan jiwa, bahkan bunuh diri seperti yang terjadi pada 2019.
Sedangkan bagi pemilih, menurut Jimmy pemilih akan kembali kebingungan dalam melakukan pencoblosan, seperti pada 2019 lalu, sebab dengan adanya lima surat suara dalam waktu yang bersamaan.
Surat suara itu yakni surat suara pemilu presiden/wakil presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, Anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Belum lagi, lanjut dia masing-masing surat suara calon DPR atau DPRD di provinsi kabupaten kota berisikan nama-nama calon yang begitu banyak, yang akhirnya menyebabkan pemilih tidak menggunakan rasionalitasnya dalam memilih.
“Hal itu bisa saja. Akhirnya melihat pada foto atau karena popular, serta tidak mungkin jika pemilih nantinya bertindak yang mengakibatkan surat suara itu tidak sah,” ujar Jimmy Usfunan.(antara)
Oleh : Boyke Ledy Watra
Editor : Tasrief Tarmizi