- Massa aksi demo damai melintas di jalan raya menuju kantor MRP Papua Barat. Kamis (7/11/2024)
FOTO: RUSTAM MADUBUN | PAPUADALAMBERITA
FEATURE:
PAPAUDALAMBERITA.COM.MANOKWARI – Pagi Kamis 7 November 2024, jalan Gunung Salju Amban depan Kampus Universita Papua (Unipa) berkumpul ratusan massa membawa sekitar belasan spanduk dengan tulisan yang isinya menolak transmigarasi.
‘’Di janjikan makan gratis dkasih transmugrasi TOLAK !!, Kami meminta untuk Pemprov Papua Barat dan DPR Papua Barat Mengkaji Ulang Perda No 19 Tahun 2022 Tentang Kependudukan,’’ bunyi isi dua spanduk.
Baca juga: Mahasiswa dan Ormas Bersatu Tolak Transmigrasi
‘’Kami meminta MRPB segera berkoordinasi dengan asosiasi MRP se Tanah Papua untuk nmelaksanakan sidang pleno penolakan transmigrasi secara nasional maupun lokal,’’ sebut mereka dispanduk lain.
Siang tadi Kamis (7/11/2024) mereka dipimpin Nelson Krenak sebagai koordinator lapangan bergerak bersama dalam aksi demonstrasi, menolak rencana pemerintah memasukkan transmigrasi ke tanah Papua.
Aksi ini bukan sekadar protes, tetapi juga simbol perlawanan terhadap kebijakan yang mereka anggap dapat merusak harmoni sosial dan budaya masyarakat Papua.
Transmigrasi adalah program pemerintah Indonesia yang dirancang untuk memindahkan penduduk dari daerah padat penduduknya, terutama di Pulau Jawa, Bali, dan Madura, ke daerah-daerah yang lebih sepi penduduknya di luar Jawa.
Program ini dimulai pada era Orde Baru, pada tahun 1950-an, dengan tujuan utama untuk mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa, mengembangkan wilayah-wilayah luar Jawa, serta mendorong pemerataan pembangunan.
Secara umum, transmigrasi melibatkan pemindahan orang-orang beserta keluarganya, termasuk pemukiman, pertanian, dan akses kepada sumber daya yang ada di daerah tujuan transmigrasi.
Para transmigran ini biasanya diberikan lahan untuk bertani atau membangun kehidupan baru di tempat tujuan.
Pemerintah juga menyediakan fasilitas dasar seperti rumah, sarana pendidikan, dan layanan kesehatan di daerah transmigrasi.
Meskipun program transmigrasi bertujuan untuk pemerataan pembangunan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan mengurangi kepadatan penduduk, program ini telah menuai kontroversi, khususnya di Papua.
Beberapa alasan logis disuarakan mahasiswa dan ormas di Manokwari dalam akasinya tadi pagi (7/11) mengapa transmigrasi dianggap kontroversial di Papua:
Papua merupakan wilayah yang memiliki keanekaragaman budaya dan etnis yang sangat khas.
‘’Kami mahasiswa kota studi Manokwari menolak transmigrasi karena bukan kepribadian kami tetapi untuk rakyat Papua,’’ tulis mereka di spanduk.
Proses transmigrasi seringkali membawa penduduk dari luar Papua, terutama dari Jawake tanah Papua.
Kedatangan pendatang ini dianggap mahasiswa dapat mengancam keberlangsungan budaya lokal masyarakat Papua yang telah ada selama ribuan tahun.
Banyak yang khawatir bahwa integrasi budaya yang cepat ini bisa membuat budaya asli Papua tergerus dan akhirnya hilang.
Mahasiswa dan masyarakat Papua merasa bahwa transmigrasi hanya menguntungkan kelompok pendatang dan bukan masyarakat lokal.
Pendatang yang datang dengan program transmigrasi mendapatkan fasilitas lebih, seperti lahan pertanian, rumah, dan dukungan finansial.
Sementara, masyarakat asli Papua yang tinggal di wilayah tersebut merasa tertinggal dalam hal pembangunan ekonomi dan sosial, bahkan ada yang merasa bahwa hak atas tanah mereka terabaikan.
Seperti disebut massa aksi pendemo dalam spanduk yang diusung:: Papua Butuh pendidikan, kesehatan, bukan transmigrasi. Papua bukan tanah kosong.
Papua adalah wilayah yang kaya akan sumber daya alam, baik berupa hutan, tambang, maupun lahan subur untuk pertanian.
Ketika transmigran datang, mereka sering kali diberikan akses terhadap sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik atau hak masyarakat adat Papua.
Ini memicu ketegangan antara masyarakat lokal dengan pendatang dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Banyak yang pendapat bahwa transmigrasi di Papua seharusnya lebih difokuskan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal dan pengembangan potensi ekonomi setempat, daripada mendatangkan penduduk baru.
Penyebaran penduduk yang cepat dan tidak merata dapat mengakibatkan overpopulasi di daerah-daerah tertentu, yang pada akhirnya justru menyebabkan masalah baru, seperti kemiskinan, keterbatasan infrastruktur, dan meningkatnya konflik sosial.
Beberapa kelompok di Papua melihat transmigrasi sebagai bagian dari upaya yang lebih besar untuk mengubah demografi dan memperkuat kontrol pemerintah pusat atas wilayah Papua.
Dalam konteks ini, transmigrasi sering dipandang sebagai bagian dari kebijakan yang tidak memperhatikan aspirasi otonomi khusus Papua.
‘’Rakyat Papua belum sejahtera, cukup dimasa kepemimpinan Presiden Soeharto yang adanya transmigrasi,kami mahasiswa/i menolak 100% adanya TRANSMIGRASI,’’ sambung pendemo di spanduk berbeda.
Program transmigrasi dimaksudkan mendukung pemerataan pembangunan, mengurangi kepadatan penduduk, serta membuka kesempatan ekonomi bagi daerah-daerah yang kurang berkembang.
Namun, di Papua, kebijakan ini lebih sering dipandang sebagai ancaman terhadap eksistensi budaya lokal, ketidakadilan sosial, dan masalah politik yang lebih kompleks.
- Aksi mahasiswa tolak transmigrasi membentangkan spanduk di Kantor MRP Papua Barat, Kamis (7/11/2024). FOTO: RUSTAM MADUBUN | PAPUADALAMBERITA
Kontroversi ini terutama dipicu kekhawatiran masyarakat Papua tentang hilangnya hak atas tanah, sumber daya alam, dan identitas budaya mereka, serta ketidakpuasan terhadap ketimpangan yang ditimbulkan oleh program ini.
‘’Jangan rakus terima transmugrasi,’’ tulis mereka dan masih ada beberapa spanduk lagi.
Karena itu, pembahasan mengenai transmigrasi di Papua selalu menjadi isu yang sensitif dan memerlukan pendekatan yang sangat hati-hati dan inklusif agar tidak menambah ketegangan yang ada di wilayah tersebut.
Aksi yang dimulai dari Gunung Salju dengan orasi penuh semangat lebih dari satu jam, kemudian mereka bergerak menuju Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat di Sowi Manokwari, sambil terus menyuarakan penolakan mereka terhadap kebijakan yang mereka anggap merugikan masyarakat lokal.
Sepanjang perjalanan, mereka bergantian menyampaikan orasi di depan mobil “komando”. Suara mereka menggema di jalanan, menarik perhatian warga Manokwari yang kebetulan melintas.
Banyak warga berhenti sejenak menyaksikan aksi tersebut, bahkan tak sedikit yang mengabadikan momen itu dengan ponsel mereka, baik dalam bentuk foto maupun video.
Aksi damai ini mendapat respons positif dari sejumlah warga yang memberikan lambaian tangan sebagai tanda dukungan terhadap perjuangan mahasiswa dan Ormas dalam menyuarakan aspirasi.
Dengan penuh semangat dan damai, para demonstran terus melangkah, membawa pesan jelas bahwa mereka menolak transmigrasi yang dianggap dapat merusak tatanan sosial dan budaya Papua.
Aksi ini menjadi cermin betapa pentingnya suara rakyat dalam proses pengambilan kebijakan di tanah Papua. (*)
Penulis: Rustam madubun)
Editor: Papuadalamberita.com