Papua Barat

Resensi Buku (5), Ayah Ali Baham Maunya Pulang Saja ke Kampung  (B)

693
×

Resensi Buku (5), Ayah Ali Baham Maunya Pulang Saja ke Kampung  (B)

Sebarkan artikel ini
Napak Tilas Ali Baham di Pulau Wundi. FOTO RUSTAM MADUBUN. DARI BUKU NAPAK TILAS ABT.
Print
  • Mereka diturunkan di Fakfak dengan kondisi tangan terikat dan mata tertutup. Di dermaga Pelabuhan Fakfak, ada sekelompok warga lokal yang mengetahui perihal kedatangan mereka

PAPUADALAMBERITA.COM.MANOKWARI – Kelompok orang tersebut mendekati Ahmad Onin dan kawan-kawan, lalu menyemburkan sirih pinang yang mereka kunyah ke wajah para sukarelawan tersebut. Sambil mengolok-olok dan menyumpahi mereka, orang-orang itu berseru, “Ko orang-orang Soekarno mau datang cari makan di Fakfak!

Baca juga: Resensi Buku (4), Napak Tilas Ali Baham ke Pulau Wundi  (A)

Orang-orang itu sudah diprovokasi oleh tentara Belanda,” kata Mohamad Yasin, menceritakan ulang apa yang dia dengar dari kakak iparnya, Ahmad Temongmere. Selanjutnya, mereka ditahan di tempat penahanan di Tambaruni dan diinterogasi terkait identitas serta tujuan mereka.

“Ayah ditanya soal nama ‘Onin’ yang tertera pada surat jalan yang mereka bawa. Tentara Belanda yang menginterogasi ingin memastikan bahwa Ahmad Onin sebenarnya adalah Ahmad Temongmere, anak Kapitan Kotam Mohamad Wawisa Temongmere.

‘’Maka didatangkanlah kakek Mohamad Wawisa ke Tambaruni dan dipertemukan dengan ayah. Ketika ditanya apakah benar Ahmad adalah anaknya, kakek membenarkannya,” ungkap Rajab Temongmere, anak bungsu Ahmad,’’ sambunya.

Setelah ditahan beberapa hari di Tambaruni, para tawanan tersebut diangkut menggunakan kapal perang menuju Pulau Wundi di Biak. Setibanya di dermaga, mereka turun dari kapal dalam keadaan mata tertutup dan tangan terikat, lalu digiring menuju sel tawanan.

Sementara itu, Ali Baham mengingat sebuah peristiwa yang sempat diceritakan ayah kepadanya.

“Ayah bercerita bahwa dia bersama tawanan lain diperintah oleh tentara Belanda untuk menggali lubang sebagai kuburan massal bagi para tawanan itu sendiri. Jika Irian Barat tidak berhasil direbut kembali sebagai bagian dari negara Republik Indonesia, maka para tawanan tersebut tidak akan bisa pulang, melainkan harus mati dan dikubur di dalam lubang-lubang tersebut,’’ ungkapnya.

‘’Tapi syukur alhamdulillah, puji Tuhan, sejarah mencatat bahwa kemenangan ada di pihak kita. Pada tanggal 1 Mei 1963, suara pesawat-pesawat Angkatan Udara Republik Indonesia menderu-deru di langit Pulau Irian, menyebarkan pamflet yang isinya menyatakan bahwa Irian Barat telah berhasil kembali menjadi bagian Republik Indonesia,” jelas Ali Baham.

Dengan kemenangan tersebut, para tawanan dibebaskan. cerita itu terungkap dalam buku Napak Tilas Ali Baham Temongmere: Cahaya Fajar dari Balik Gunung Mbaham mengisahkan perjalanan, dedikasi, dan perjuangan Ali Baham Temongmere dalam membangun Papua Barat.

Ditulis oleh Dwi Urip Premono, dan dua wartawan senior Wolas Krenak, dan Yusuf Mujiono, buku ini menjadi dokumentasi berharga tentang kiprah seorang pamong sejati.

Ahmad Temongmere beserta para tawanan lainnya kemudian dibawa ke Biak dengan kapal.

Selanjutnya, mereka diperintahkan berangkat ke Jakarta menggunakan pesawat Hercules.

Di Ibu Kota Republik Indonesia, ayahanda Ali Baham dan kawan-kawannya dijemput oleh Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang kala itu dijabat oleh Jenderal A.H. Nasution.

Pak Nasution menyambut kedatangan mereka sebagai pahlawan negara dan menawarkan kesempatan menjadi tentara atau menikah dengan gadis Jawa.

Ingin Pulang

Ahmad Temongmere menolak semua tawaran itu dan memilih untuk pulang ke kampung halamannya.

“Pokoknya pulang, Ayah tidak mau jadi tentara dan tidak mau menikah lagi, maunya pulang saja ke kampung.

Begitulah, Ayah pulang ke kampung dan selanjutnya saya dilahirkan setelah peristiwa itu. Jadi, bila Ayah meninggal di Pulau Wundi, maka saya tidak akan ada. Demikian juga kalau Ayah menikah lagi di Jawa, maka saya juga tidak akan ada. Jadi, saya ada karena kekuatan cinta Ayah kepada Ibu.

‘’Suatu hari saya bertanya kepada Ibu, kenapa Ayah sampai bisa kembali pulang, padahal sudah ditawar untuk menikah lagi? Ibu menjelaskan bahwa bekas tapak kaki terakhir Ayah yang tertanam di pasir sebelum dia naik perahu yang akan membawanya pergi, diseroknya, dimasukkan ke dalam kain sarung yang dipakainya, digendongnya, lalu dibawa pulang untuk disimpan di dalam sebuah peti.

‘’Apa yang dilakukan Ibu adalah tradisi yang dilakukan oleh orang-orang tua di kampung ketika melepas kepergian orang yang dicintainya saat akan pergi jauh untuk menunaikan ibadah haji atau merantau.

‘’Ibu membuka peti itu bilamana mengingat Ayah. Beliau masuk ke dalam kamar, membukanya, memandangnya sambil memanjatkan doa untuk keselamatan suami yang dicintainya itu. Ibu sangat yakin bahwa Ayah pasti selamat dan akan kembali karena bekas tapak kakinya tetap kering dan tidak berubah,” kenang Ali Baham.

Pendek cerita, sepulangnya ke Fakfak, tepatnya di Kampung Kotam, Ayah Ahmad yang bernama Haji Muhamad Wawisa Temongmere—yang saat itu menjabat sebagai Kapitan Kotam (jabatan Kepala Kampung dalam sistem Pemerintahan Petuanan Kerajaan Ati Ati)—langsung menyerahkan jabatan itu kepada Ahmad Temongmere sebagai anak laki-laki tertua.

Selanjutnya, pada tahun 1974, Ahmad Temongmere dipilih oleh masyarakat Kampung Kotam, Kalamanuk, Wayati Kwama, dan Wayati Manggeste untuk menjadi Kepala Desa Wayati hingga tahun 1985.

Dari sepenggal kisah itulah dimulai napak tilas perjalanan hidup seorang bernama Ali Baham Temongmere, yang pada tanggal 31 Oktober 2023 dilantik menjadi Sekretaris Daerah Provinsi Papua Barat oleh Penjabat Gubernur Provinsi Papua Barat, Paulus Waterpauw. Keesokan harinya, pada 1 November 2023, ia dilantik sebagai Penjabat Gubernur Provinsi Papua Barat oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.(rustam madubun)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *