Papua Barat

Resensi Buku (4), Napak Tilas Ali Baham ke Pulau Wundi  (A)

667
×

Resensi Buku (4), Napak Tilas Ali Baham ke Pulau Wundi  (A)

Sebarkan artikel ini
Napak Tilas Ali Baham di Pulau Wundi. FOTO RUSTAM MADUBUN. DARI BUKU NAPAK TILAS ABT.
Print
  • Ali Baham Temongmere melakukan perjalanan napak tilas untuk menapaki petilasan perjuangan patriotisme ayahnya, yang pernah menjadi sukarelawan dalam upaya merebut kembali Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi. Perjalanan ini terlaksana pada 20 September 2024. 

PAPUADALAMBERITA.COM.MANOKWARI – Dalam perjalanan tersebut, Ali Baham memimpin 94 orang anak buahnya yang terdiri dari Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemerintah Provinsi Papua Barat.

Baca juga: Resensi Buku (3), Ali Baham Temongmere Selalu Peringkat Satu di APDN

Mereka mengunjungi Pulau Wundi, yang terletak di wilayah Kabupaten Biak, Provinsi Papua. Tujuan utama dari perjalanan ini adalah untuk membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme dalam diri para ASN agar semakin mencintai negara.

“Ketika Presiden Soekarno mengeluarkan perintah Trikora pada 19 Desember 1961 untuk merebut kembali Irian Barat menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia, beliau menyerukan kepada seluruh pemuda atau orang Irian yang sedang berada di perantauan untuk kembali pulang ke kampung halaman mereka masing-masing sebagai sukarelawan,” ungkap Ali Baham.

Sebagai sukarelawan, mereka diminta untuk menjelaskan kepada keluarga, kerabat, dan handai taulan bahwa pasukan Tentara Republik Indonesia yang akan tiba di Irian Barat dalam waktu dekat adalah saudara, bukan orang lain.

“Jadi kalau mereka lapar, tolong kasih makan; kalau mereka sakit, tolong kasih obat; kalau mereka perlu istirahat, tolong kasih tempat tinggal,” jelas Ali Baham.

Ali Baham kemudian menuturkan apa yang dialami ayahnya, Ahmad Temongmere. Ketika perintah Trikora tersebut dikumandangkan, sang ayah sedang belajar agama di Kampung Miran yang terletak di Pulau Gorom.

Secara administratif, tempat itu kini menjadi bagian wilayah Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku cerita itu terungkap dalam buku Napak Tilas Ali Baham Temongmere: Cahaya Fajar dari Balik Gunung Mbaham mengisahkan perjalanan, dedikasi, dan perjuangan Ali Baham Temongmere dalam membangun Papua Barat.

Ditulis oleh Dwi Urip Premono, dan dua wartawan senior Wolas Krenak, dan Yusuf Mujiono, buku ini menjadi dokumentasi berharga tentang kiprah seorang pamong sejati.

Peristiwa rekrutmen sukarelawan Trikora di Pulau Gorom diceritakan oleh seorang saksi mata, yaitu Mohamad Yasin Kiliwouw. Dia adalah adik kandung dari Sahara Kiliwouw, ibunda Ali Baham yang merupakan istri dari Ahmad Temongmere.

Yasin Kiliwouw menuturkan bahwa perintah Trikora segera ditindaklanjuti oleh Komandan Kompi Resimen Pelopor di Kataloka, Pulau Gorom, waktu itu, yaitu Abdul Fattah. Dia segera mencari orang-orang Irian yang ada di kampung-kampung Pulau Gorom, termasuk Miran, untuk diajak menjadi sukarelawan. Lalu, bertemulah Abdul Fattah dengan Ahmad Temongmere dan jamal.

Namun, Jamal adalah orang Fakfak yang lahir di Miran dan tidak menguasai situasi Fakfak, sehingga dia tidak direkrut sebagai sukarelawan.

Kemudian, Abdul Fattah menjelaskan segala hal yang terkait dengan perintah Trikora. Ia menyampaikan bahwa negara memerlukan sukarelawan untuk dikirim ke Fakfak sebagai peninjau situasi dan melaporkannya kepada Komandan Resimen Pelopor di Gorom.

Selain itu, mereka ditugaskan untuk mempersiapkan kedatangan para tentara di Fakfak serta menciptakan kondisi yang mendukung keberadaan mereka.

Jiwa nasionalisme dan patriotisme Ahmad Temongmere langsung berkobar setelah mengetahui perintah tersebut.

Ia pun memutuskan untuk bersedia menjadi sukarelawan dan diangkat sebagai komandan dengan nama Ahmad Onin.

Nama ini tercantum dalam surat perintah yang ditandatangani oleh Panglima Komando Wilayah Pertahanan Keamanan Maluku dan Irian Barat, Busiri Suryowinoto, yang kemudian menjadi Gubernur Irian Jaya.

Onin adalah nama lain dari Fakfak atau Papua.

Nama “Onin” diberikan kepada Ahmad Temongmere sebagai identitas yang menunjukkan asal daerahnya, yaitu Fakfak atau Papua.

Ada beberapa orang bernama “Ahmad” lainnya, misalnya Ahmad Key, yang berarti Ahmad yang berasal dari Key; atau Ahmad Bugis, yang berarti Ahmad yang berasal dari Bugis.

Selanjutnya, beberapa persiapan dilakukan untuk mendukung operasi kegiatan sukarelawan tersebut.

Para perwira Resimen Pelopor di Pulau Gorom memberikan briefing tentang berbagai hal yang harus dilakukan oleh para sukarelawan.

Sementara itu, pihak keluarga menyiapkan segala keperluan untuk bekal perjalanan, seperti makanan berupa ketupat, ikan, dan sayur.

Surat jalan diberikan oleh Kepala Pemerintah Negeri Miran, Panjawat Rumadan, dengan tujuan yang sengaja dipalsukan, yaitu menuju Amarsekaru yang terletak di Pulau Manawoku, Kecamatan Seram Timur. Tujuan palsu tersebut sengaja dibuat untuk mengamankan misi rahasia itu.

Setelah semua persiapan selesai, Ahmad Onin bersama empat orang lainnya dari Pulau Gorom—La Masali asal Buton, Kepala Dusun Tuha bernama Mansu Kubalai, Abdul Latif dari Kampung Kilkoda, dan Rahakbau asal Key—segera berangkat mendayung perahu menuju medan pertempuran di Fakfak.

Namun, apa daya. Di tengah perjalanan di lautan antara Pulau Gorom dan Fakfak, tiba-tiba sebuah pesawat militer pengintai Belanda terbang mendekati perahu yang ditumpangi Ahmad Onin dan kawan-kawan.

Pesawat itu terbang rendah, mengitari perahu beberapa kali, lalu kembali menuju Fakfak.

Tidak lama setelah itu, dari kejauhan arah Fakfak tampak sebuah kapal perang Belanda mendekati perahu.

Para tentara Belanda di kapal perang tersebut menangkap Ahmad Onin dan kawan-kawan beserta perahu yang mereka tumpangi.

Para sukarelawan itu mula-mula ditempatkan di dek paling atas, yang lantainya sangat panas. Mereka diinterogasi oleh tentara Belanda hingga akhirnya mengakui maksud perjalanan mereka.

Setelah itu, Ahmad Onin dan kawan-kawan disuruh turun ke dek bawah, dekat kamar mesin.

Awalnya, mereka disuruh duduk di lantai. Tidak lama kemudian, mereka dipindahkan kembali ke dek paling atas.

Di sana, mereka diperintahkan makan dari perbekalan yang mereka bawa dari kampung. Sementara itu, kapal terus melaju menuju Fakfak.(rustam madubun)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *