Tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden, Sigit Pamungkas. ANTARA/HO-KSP
PAPUADALAMBERITA.COM. JAKARTA – Pasca disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menjadi undang-undang pada 6 Desember 2022 yang lalu, salah satu isu yang mengemuka di publik adalah anggapan bahwa KUHP ditujukan untuk menjadi alat kekuasaan pemerintahan saat ini untuk mematikan demokrasi.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Sigit Pamungkas membantah hal tersebut. Menurutnya, KUHP merupakan sintesis dari pengalaman dan harapan demokrasi kedepan.
“KUHP tidak akan membungkam demokrasi. Formulasi KUHP terkait kebebasan berpendapat merupakan refleksi dari pengalaman kita berdemokrasi yang telah lalu sekaligus harapan keadaban berdemokrasi di masa depan,” ujarnya dalam rilis dari Kantor Staf Presiden yang di terima papuadalamberita.com.
Menurut Sigit, kebebasan berpendapat saat ini berada dalam situasi yang berbeda dari masa sebelumnya. “Dulu kebebasan berpendapat ditengah lingkungan pembatasan partai, kontrol masyarakat sipil dan media. Sementara saat ini pilar-pilar demokrasi tersebut termasuk parlemen di buka bebas. Melalui mekanisme pemilu yang rutin supremasi sipil juga terjamin.” Sigit juga menegaskan bahwa KUHP memang legacy Presiden Jokowi, namun baru akan berlaku secara efektif di 3 (tiga) tahun mendatang. “Jadi terlalu berlebihan pandangan bahwa KUHP mematikan demokrasi”.
Senada dengan hal tersebut, dalam perspektif geopolitik, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Andi Widjajanto mengingatkan bahwa pengesahan KUHP adalah bentuk penguatan Otonomi strategis Indonesia yang diproyeksikan lewat kepentingan nasional Indonesia yang bersumber salah satunya dari paradigma hukum nasional. “Keinginan Indonesia untuk mengadopsi paradigma hukum pidana modern yang meliputi keadilan korektif, keadilan restoratif, serta keadilan rehabilitatif harus menjadi prioritas baru dalam membangun kolaborasi dengan negara lain.” ungkap Andi.
Gubernur Lemhannas lebih jauh menekankan bahwa kepentingan nasional tersebut justru bertujuan untuk menjaga iklim demokrasi dan dapat diterjemahkan menjadi sikap Indonesia dalam kerangka hubungan luar negeri. “Dengan pengesahan KUHP, kebutuhan Indonesia untuk menjaga sendi-sendi demokrasi di tengah merebaknya tren global tentang politik identitas, ujaran kebencian, serta politik hoaks harus menjadi rujukan utama dalam praktek diplomasi Indonesia,” tutup Andi.(rilis/rustam madubun)