PAPUADALAMBERITA.COM. JAKARTA – Pemilihan umum presiden dan wakil presiden (Pilpres)
telah selesai dilaksanakan. Masyarakat kini menunggu Komisi Pemilihan Umum
(KPU) mengumumkan hasil rekapitulasi dan menetapkan pasangan calon terpilih.
Namun kemudian muncul perdebatan di tengah masyarakat mengenai aturan penetapan
pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, setelah Wakil Ketua DPR
RI, Fahri Hamzah, dalam cuitannya menyatakan bahwa pasangan calon nomor urut 02
Prabowo Subianto – Sandiaga Uno merupakan pemenang dalam kontestasi politik
ini, bila merujuk sistem pemilihan di Amerika Serikat.
Menanggapi perdebatan mengenai aturan tersebut, Direktur Pusat Pengkajian
Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi
Anggono, menilai bahwa aturan penetapan capres dan cawapres terpilih sudah
sangat jelas.
Bayu menjelaskan aturan mengenai penetapan capres dan cawapres terpilih sudah
diatur dalam Undang Undang Dasar 1945, UU Pemilu, hingga Peraturan KPU 5/2019.
“Sebenarnya aturan mengenai aturan capres cawapres itu sudah terang
benderang, sehingga publik tidak perlu ragu,” ujar Bayu.
Cuitan Fahri Hamzah tampaknya mengacu pada ketentuan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945
yang menyebutkan bahwa syarat penetapan pasangan capres dan cawapres terpilih
adalah, suara mayoritas ditambah persebaran pemilih paling sedikit 20 persen di
lebih dari setengah provinsi di Indonesia
Kendati demikian pada Juli 2014 Mahkamah Konstitusi melalui putusannya telah
memberi tafsir bahwa Pasal 6A ayat (3) UUD 1945, tidak berlaku bila hanya ada
dua pasangan calon dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden.
Aturan dalam Pasal 6A ayat (3) tersebut memang diberlakukan pada pemilu
presiden 2004 dan pemilu presiden 2009, namun tidak dapat diberlakukan pada
pemilu presiden 2014 karena pada waktu itu hanya ada dua pasangan calon yaitu
Prabowo Subianto – Hatta Radjasa dan Joko Widodo – Jusuf Kalla.
Sementara itu, situasi dan kondisi pada pemilu presiden 2019 sama persis dengan
situasi dan kondisi pada pemilu presiden 2014, sehingga Pasal 6A ayat (3) UUD
1945 kembali tidak dapat diberlakukan.
“Itu sudah jelas, karena bila hanya ada dua calon maka pemilu menjadi
seperti hanya diulang-ulang saja dan dapat dilihat bahwa konstelasi pemilih itu
hanya akan bertahan saja dengan pilihannya,” ujar pakar hukum tata negara
dari Universitas Udayana Jimmy Zevarius Usfunan kepada Antara.
Bila ketentuan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 diberlakukan pada Pemilu Presiden
2019, maka hal ini hanya akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam
penyelenggaraan pemerintahan, jelas Jimmy.
Suara Terbanyak
Pada Juli 2014 Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi UU 42/2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) yang diajukan
oleh Forum Pengacara Konstitusi.
Dikabulkannya perkara teregistrasi nomor 50/PUU-XII/2014 tersebut berdampak
pada pemilihan presiden 2014 dan semua pemilihan yang hanya diikuti oleh dua
pasangan calon.
Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres yang diujikan oleh Forum Pengacara Konstitusi
menyatakan keterpilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden, pasangan
calon tersebut harus memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara
dalam pilpres dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang
tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Sementara melalui putusannya, MK menyatakan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres
bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘tidak berlaku untuk
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang hanya terdiri dari dua pasangan
calon’.
Mahkamah berpendapat, jika hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil
presiden maka pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terpilih adalah
pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945, sehingga tidak perlu dilakukan pemilihan
langsung putaran kedua.
Artinya, pada pilpres 2014 dan pilpres 2019 yang hanya diikuti dua pasangan
calon, pilpres hanya dilakukan satu putaran dan pasangan calon terpilih adalah
pasangan yang memperoleh suara terbanyak.
Menurut Mahkamah, kebijakan pemilihan presiden secara langsung dalam UUD 1945
bertujuan untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, karena Presiden Republik
Indonesia adalah presiden yang memperoleh dukungan dan legitimasi yang kuat
dari rakyat.
Berkaitan dengan itu, lahir ketentuan Pasal 6A ayat (3) yang mengharuskan
syarat keterpilihan mayoritas ditambah persebaran pemilih paling sedikit 20
persen di lebih dari setengah provinsi di Indonesia. Kemudian lahir turunan
dari pasal tersebut, yakni Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres.
Terkait dengan pilpres yang hanya diikuti oleh dua pasangan capres dan
cawapres, Mahkamah menilai pada tahap pencalonan, pasangan capres dan cawapres
telah memenuhi prinsip representasi keterwakilan seluruh daerah di Indonesia
karena para calon didukung oleh gabungan partai politik nasional yang
merepresentasikan penduduk di seluruh wilayah Indonesia.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah Pasal 159 ayat (1) UU
Pilpres, harus dimaknai apabila terdapat lebih dari dua pasangan calon presiden
dan wakil presiden. Dengan kata lain, jika hanya ada dua pasangan calon
presiden dan wakil presiden, pasangan capres dan cawapres yang terpilih adalah
pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak tanpa persebaran suara minimal
20 persen di lebih dari setengah provinsi di Indonesia.
“MK merupakan penafsir konstitusi yang paling final dan tunggal, jadi apa
yang dilakukan MK sudah memberikan makna baru pada Pasal 6A ayat (3) dan hal
ini didukung oleh UUD 1945 bahwa MK sebagai penafsir konstitusi,” ujar
Bayu.(antara/pdb)