Korban pelecehan seksual oleh keluarga sendiri yang dilaporkan keluarga korban ke Polda Papua Barat dan Polres pada bulan Juli 2019. GRAFIS dan DATA:papuadalamberita.com
PAPUADALAMBERITA.COM. MANOKWARI – Anak memilik hak bertumbuh dan berkembang, anak juga wajib memperoleh perlindungan keluarga, bukan memperoleh prilaku kekerasan.
Pada Juli 2019 kepolisian menangani enam kasus kekerasan seksualitas terhadap anak dibawa umur yang masih pelajar. Bejatnya, pelaku kekerasan seksual ini dari orang terdekat, seperti tetangga, teman, bapak kandung dan keluarganya.
Terlansir dalam papuadalamberita.com adalah oknum purnawirawan di Kabupaten Fakfak mencabuli cucunya (16). Kejadiaan (19/7/2019) kini ditangani Polres Fakfak.
Di Timanbuan Sorong Selatan Papua Barat dua gadis bersaudara berusia (17) dan (15) tahun diperkosa pelaku berusia (40), keluarga korban melapor ke kepolisi pada (20/7/2019).
Pelaku tindak kekerasan seksual terhadap gadis berusia 19 dengan tersangka N (32) juga terjadi pada Sabtu, 13 Juli 2019 di Kabupaten Maybrat. Kasus serupa juga terjadi di Fakfak pelakunya oknum ASN mencabuli tiga gadis berusia 8 – 11 tahun yang juga tetangganya.
Seorang gadis (13) di Manokwari mengalami hal serupa. Ia yang diitemani mama adenya mendatanggi Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Papua Barat pada Jumat (12/72019) membuat laporan polisi, bahwa ponakannya tiga kali digauli ayah kandungnya.
Yulia Sugandi P.hd Dosen Ekologi Manusia pada Institut Pertanian Bogor (IPB) kepada papuadalamberita.com berpendapat sederet kekerasan seksualitas oleh keluarga sendiri yang terjadi di Provinsi Papua Barat, yang korbannya adalah anak-anak, pelajar dan mahasiswi ini menimbulkan trauma mendalam dialami korban dan tidak mudah hilang begitu saja ketika kasusnya selesai pelakunya dihukum.
Korban perlu pendampingan untuk pemulihan mental dan psikisnya untuk menghilangkan trauma berkepanjangan. ‘’Perkosaan dan kekerasan seksual oleh anggota keluarga masuk sebagai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT),’’ ujar lulusan satrata satu Universitas Gajamada (UGM) Jogjakarta yang dihubunggi papuadalamberita.com melalui sambungan telepon.
Menurutnya KDRT bisa berupa kekerasan fisik, kekerasan mental serta kekerasan pelecehan seksual . ‘’ yang patut dipahami adalah apa pemicu (trigger) kekerasan tersebut, misalnya miras atau hal lainnya? Bagaimanakah konteks dimana keluarga itu berada? (misalnya kondisi ekonomi, lingkungan sosial seperti tetangga, kebiasaan setempat, ‘’ jelas lulusan starat dua di Universita Finlandia prihatin.
Korban KDRT seksual kerap luput dari perhatian , karena dianggap sebagai urusan internal, domestic dan privat yang tidak pantas dicampuri pihak lain. Tetapi Yulia mengingatkan, bahwa UU KDRT sebagai upaya memberikan batasan, bahwa pelanggaran hak dalam ruang keluarga juga menjadi urusan publik.
‘’ Kekerasan seskualitas menggambarkan sedemikian rentannya ancaman terhadap anak-anak. Apa pemicu dan konteksnya? Apakah pemicunya? Miras? Bagaimanakah relasi antar anggota keluarga?,’’ kata Yulia Sugandi bertanya.
Kejaidan di Papua Barat membuat semua pihak merenungkan kembali, bagaimanakah struktur dan relasi keluarga di jaman now ini. Apakah yang menjadi landasan nilai suatu keluarga? Apakah masih ada orientasi nilai dalam keluarga, ataukah keluarga hanya merupakan unit biologis tanpa nilai?
Melakukan kejahatan dan kekerasan terhadap anggota keluarga sendiri itu mendobrak lebih banyak hal daripada kejahatan terhadap orang lain.
Hancurnya nilai-nilai kepercayaan dan kesakralan ikatan keluarga oleh orientasi seksual dan birahi.
‘’Pemulihan korban KDRT memerlukan upaya serius, karena secara psikologis unsur-unsur kepercayaan terhadap orang terdekat,’’ urai lulusan strata tiga Jerman bidang antorpologi dan sosiologi.
Yulia Sugandi P.hD. FOTO: ALBUM YULIA SUGANDI/papuadalamberita.com
Faktor pemicu memberikan pemahaman tetang hal-hal yang patut dibenahi, landasan nilai keluarga juga patut mendaptkan perhatian.
Ia mencontohkan menaganimnya bisa focus pada pelakunya menjalani hukum positif atau hukum adat, kalau hukum adat memang dianggap lebih pada sangsi sosial.
‘’Jadi bukan sangsi terhadap individunya , juga sangsi sosial, apa itu menjadi evektif atau tidak, jangan sampai hukum adat karena denda lebih tinggi, apakah itu memberi efek jerah atau tidak,’’ tanyaNya..
Kalau untuk tindakan pencegahan berarti melihat kepada unsur pemicu dimana kejadiaan terjadi.
Misalnya pada pelaku, tetapi ternyata pemicunya Miras, ada kemungkinan kemudian hari terjadi lagi.
Selain dari Miras, misalnya landasan nilai dalam keluarga sendiri, apa yang mempersatukan orang dalam satu keluarga? Apa cuman karena ikatan darah? Atau ada ikatan nilai yang melibihi ikatan darah? Apa yang mempersatukan orang dalam keluarga dan yang melibih ikatan darah, misalnya ikatan sakralan, ikatan agama, atau pendidikan.
‘’Kalau ikatan ekonomi itu komplitas, ikatan ekonomi terlepas daripada ikatan itu. Ikatan ekonomi bisa karena saling membutuhkan,’’ terangnya.
Jadi ada unsur structural unsur kultural, kalau unsur structural bisa karena kondisi ekonomi yang terdesak. Tapi kalau landasan kulturalnya, landasan nilainya bisa melbihi landasan ekonomi tidak masalah.
Tapi kalau landasan nilainya juga goyah atau rapuh, dengan mudah unsur lain akan masuk, unsur ekonomi masuk dengan mudah.
Itu berarti keluarganya hanya nilai ekonomi semata, tidak ada nilai lain. Kasus di Papua Barat karena nilai seksual melebihi nilai lain.
Itu Membuat kita merenungkan lagi apa sebetulnya yang mempersatukan orang dalam keluarga. Berarti yang dibenahi bukan cuman pelaku, hukum pelaku untuk membuat jerah. Ekosistem dalam kontes keluarga itu harus kita benahi,’’ tegas Yulia.
‘’Saya melakukan FGD di Manokwari Papua Barat saya bertemu dengan seorang Polwan yang memang dia khusus untuk anak dan perempuan, saya ketemu juga dengan ibu Numberi dari kementgrian pemberdayaan dan perempuan. Mereka kerja melebihi batas, karena harus lari kemana-kemana. Bagaimana mereka punya otoritas dalam menagani masalah itu,’’ ungkapnya.
Menurutnya, konseling bagi korban seksualitas, bukan hanya urusan kepolisian, tetapi juga kementrian terkait, cuman konseling membutuhkan keahlian tertentu.
Yulia mencontohkan di Jakarta ada Lembaga Save House , lembaga ini untuk korban KDRT ditampung disatu tempat yang di luar konteksnya dia. Tidak mungkin Ia dikonseling tetapi tetap berada di konteks tertentu.
‘’Karena korban seksual trauma dan itu harus disediakan save house, save hous adalah tempat yang netral untuk pemulihan korban dan tergantung dari tingkat kerawanan kekerasan yang dialaminya,’’ ujarnya.
Trauma meninggalkan luka, memang tidak terlihat berdarah seperti luka fisik, tetapi itu luar biasa dampaknya, itu lebih dasyat apalagi dilakukan keluarga sendiri yang kita percayai sebagai pelindung, trauma kekerasan seksual itu pemulihan unsur kepercayaan yang sangat berat.
‘’Oleh kerena itu penaganannya harus dengan baik. Di Jakarta ada juga Yayasan Pulih untuk konseling, banyak orang psikolog Universitas Indonesia di situ, Yayasan Pulih bekerja untuk pemulihan trauma,’’ ungkapnya.
Jika di Papua Barat harus tempat yang netral untuk pemulihan atau Save House atau dikonseling, jika dirasa sesuatu sangat penting (urgen) bisa diinverstasikan dari pemerintah setempat.
Apalagi dengan adanya undang-undang KDRT berarti ada pelanggaran hak dalam keluarga, yang jadi urusan public, dipidanakan, tetapi apakah ada pasal dalam UU KDRT yang mengatur secara spesifik tentang kekerasan seksual? Itu yang harus dilihat juga.
JIka Kementrian dan polisi memiliki save house jauh lebih baik, karena tujuan save house memberikan kenyamanan kepada korban. Kenyamanan itu nomor satu.
Keberpihakan pada korban sesksual hampir tidak ada. Dan bukan hanya penghukumman kepada pelaku, tetapi pembenahan secara ekosisitim , kalau tidak nanti terulang lagi pada korban yang lain.(tam)