Buku dengan judul ‘Banjir Darah: ditulis pdua penulis Anab Afifi (almarhum) dan Towaf Zuharon. PAPUADALMBERITA. FOTO: RUSTAM MADUBUN
PAPUADALAMBERITA.COM. MANOKWARI – Buku setebal 416 halaman itu ditulis dua penulis Anab Afifi (almarhum) dan Thowaf Zuharon.
Diterbitkan oleh Istambul, cetakan pertamanya Agustus 2020 dan sangat laris, buku diberi judul “Banjir Darah” kisah nyata aksi PKI terhadap Kiai, Santri dan kaum muslimin.
Anab dan Thowaf tidak hanya mengisakan kejamnya bagaimana anggota partai komunis membantai, memperkosa, membunuh dengan keji para syuhada yang berjuang membela agama, tetapi juga bagaimana partai komunis membumi hangsukan rumah-rumah penduduk, membunuh anggota TNI, anggota Polri sebagai garda terdepan penjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sampai wartawan, sastrawan pun tak luput dari target pembunuhan dijaman itu, semua terurai lugas.
‘’Buku ini membuat saya tidak ingin berhenti membacanya. Luar biasa buku ini. Anab Afifi seperti telah ditakdirkan Allah untuk membuka yang tersembunyi. Inilah buku paling lengkap yang mengungkap sejarah kekejaman PKI. Buku ini harus disebarluaskan dan dicetak sebanyak-banyaknya,’’ ujar Guru Besar Sejarah Universitas Padjajaran Bandung, Prof. Achmad Mansur Suryanegara dalam halaman komentar positif para tokoh buku ini.
Komentar positif senada juga datang dari tokoh berbeda profesi, seperti Sastrawan dan Budayawan senior Taufiq Ismail, Wartawan Senior Dahlan Iskan, Budayawan dan sastrawan Asia Tenggara Habiburrahman El Shirazy.
‘’Gaya penulisannya bagus sekali. Prolog dengan menjadikan Felecia sebagai tokoh sangat kreatif dan hidup. Plot tour itu juga menarik. Penulisnnya secara keseluruhan bagus sekali,’’ komentar pemilik sejumlah media di Indonesia, Dahlan Iskan.
Sastrawan Taufik Ismail memberi komentar begini: ‘’Buku ini ditulis dengan baik. Wawancaranya ekstensif. Dan saya sangat menghargai pekerjaan kedua penulis muda ini. Secara pribadi saya merasakan rasa sedih dan merasa tertindas seperti yang dialami para korban. Dan saya tidak dapat lain kecuali ikut meneteskan air mata. Buku ini betul-betul sangat layak dibaca”.
‘’Buku ini memuat data-data sejarah yang harus dibaca oleh umat islam di Indonesia, agar terus sadar sejarah. Dan, agar bangsa Indonesia terus waspada dan bisa mengantisipasi munculnya bahaya laten komunis,’’ sebut Budayawan dan Sastrawan Asia Tenggara, Habiburrahman El Shirazy.
Siapa itu? Anab dan Thowaf: Anab Afifi lahir di keluarga santri di Madiun 5 Agustus 1968. Sejarah lisan yang ia dengar sejak kanak-kanak tentang keganasan PKI di kota kelahirannya pada Tahun 1948 telah mendorong Anab untuk menuangkannya dalam bentuk buku, “Ayat-Ayat yang Disembelih” adalah karya pertamanya tentang sejarah, di luar hampir 60 buku tentang korporasi yang sudah ia tulis dalam enam tahun terakhir ini.
Anab belum sebulan ini tepatnya Desember 2020 Ia berpulang, setelah lima hari melawan ganasnya virus COVID-19 di Jakarta.
Sedangkan, Thowaf Zuharon lahir di Klaten, pada September 1982. Ibunya adalah keluarga santri Nahdlatul Ulama (NU) di daerah Babat Klaten, sedangkan ayahnya dari keluarga santri Muhammadiyah Kauman Jogjakarta.
Sejak kecil, telinganya telah mendengar kisah nyata dari nenek dan ibunya tentang kejamnya para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Banyak kerabat dekat kakek-neneknya dari kalangan NU yang gugur, dibunuh dengan keji oleh para PKI, beberapa waktu sebelum meletus pereistiwa Gestapu 1965.
Kakeknya yang ada di Klaten, sebenarnya juga menjadi target pembunuhan para PKI sebelum 1965, tetapi berhasil lolos, buku ini adalah dedikasinya untuk para keluarganya yang gugur dibunuh PKI.
Sejak masih SMA Thowaf Zuharon banyak berkecimpung di dunia riset, organisasi sosial, penulisan, dan bisnis. Ia banyak menulis jurnalistik, sastra, artikel, dan berbagi genre penulisan lain di berbagai media dan buku.
Berbagai penghargaan kepenulisan tingkat nasional pernah Ia raih Thowaf Zuharon berumah di facebook.com/thowafzuharon.
Buku ini penting karena mengangkat fakta sejarah kekejaman PKI dalam rentang waktu panjang, tahun 1926 – 1968. Membentang dari ujung pulau Sumatera hingga Pulau Bali. Disajikan dengan gaya bercerita (storytelling) sehingga tidak membosankan.
Kekuatan buku ini terletak pada penggambaran situasi detail secara naratif pada masa kejadian yang tidak hanya bersumber dari referensi teks, tetapi disertai wawancara penulis dengan 30 saksi saksi hidup yang terdiri dari korban, kerabat, dan keluarga korban keganasan PKI dan di Jakarta Solo Ngawi, Madiun Magetan, Ponorogo, Kediri, Blitar dan Surabaya.
Tulisan dua penulis ini menjadi sangat penting dibaca siapapun. Untuk menyadarkan kembali kepada kita akan bahaya laten komunis bagi masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan generasi yang akan datang, batu-batu nisan tua serta monumen demi monumen itu adalah memori sejarah tidak akan terhapuskan.
Satu judul dalam buku Banjir Darah di halaman 33. PAPUADALAMBERITA. FOTO: RUSTAM MADUBUN
Saksi-saksi hidup yang menjadi sumber lisan buku ini, hanya ingin bercerita kepada kita maka dari itu Dengarkanlah.
Tulisan buku ini perpaduan bahasa jurnalistik dan sastra sehingga perlahan dapat membangkitkan amarah, namun tidak membuat saya untuk menskip bacaan dari satu halaman ke halaman lain.
Racikannya justru membuat emosi mendidih, membawa rasa pilu karena seakan kita sedang menyaksikan aksi tidak berprikemanusian dari bandit-bandit anti NKRI dan agama itu.
‘’Jiwa mereka harum mewangi, menjulang ke langit tinggi dan abadi. Sampai kapanpun, sejarah akhir kekejaman PKI itu tak akan terlupakan, bahkan wanginya aroma daun kenanga yang banyak tumbuh di sekitarnya, tak akan bisa menghapuskan bau anyir darah pengorbanan para Kiai kami,’’ simpul akhir dari judul: ‘’Wangi pucuk kenangan itu tak akan hapuskan bau anyir darah para kiai kami” di halaman 101 buku itu.
Siapa itu Kutil dalam buku ini? Ia adalah seorang algojo partai komunis di Tegal paling tersohor, karena sangaar dan menakutkan, tangannya selalu berlumur darah karena tebasan, tikaman dan bacokan kepada siapa saja yang saat itu tidak sepaham dengan PKI.
Wajahnya yang seram menakutkan sampai-sampai Ia marah kepada Tuhan, Ia menyalahkan Tuhan, sehingga hidupnya tidak pernah menyentuh kelembutan, selalu berada dalam dunia keras, hidup bersama penjudi, pembunuh, pemabuk di daerah pelabuhan membuatnya bertemu seseorang berpaham komunis dan mendoktrin ajaran anti NKRI dan agama padanya.
Keluar masuk penjara adalah mainan sehari-hari dalam hidupnya, tak ayal Kutil bersama dua temannya di asingkan ke penjara Boven Digul Irian Jaya (kini Papua), disitu jiwa membunuhnya tidak berkesudahan, nyawa seorang sipir penjara Digul berwarga negara Nederlan, ia habisi, Kutil pun kabur dari penjara kemudian menjarah perahu milik warga di Digul Irian Jaya, Ia bersama kedua temannya mengarunggi lautan bebas dari Irian hingga kembali di Tegal.
Dalam mengarungi lautan ketiganya kehabisan makanan, cara nyinyir dilakukan Kutil, salah satu dari kedua temannya dia habis untuk dijadikan daging sebagai santapan selama dalam pelayaran, semua itu ditumpahkan penulis ada di buku itu.(tam)