Papua

Bagian (1) Mei 1996 Pesta Pembebasan yang Mencekam: GPK OPM Tak Sebut Nama Desa, Sungai yang Kami Lewati

668
×

Bagian (1) Mei 1996 Pesta Pembebasan yang Mencekam: GPK OPM Tak Sebut Nama Desa, Sungai yang Kami Lewati

Sebarkan artikel ini
Pimpinan OPM Kelik Kwalik saat menyambut Tim ICRC, Palang Merah Internasional di Desa Mapunduma Irian Jaya pada Mei 1996. Tampak Adinda Arimbi Saraswati (kacamata) dan sejumlah Sandera. FOTO: TANGKAPAN LAYAR Buku Sandera 130 hari terperangkap di Mapunduma.
Print

Penyanderaan terhadap Tim Ekspedisi Lorentz “95 pada 8 Januari 1996 di Mapnduma, Irian Jaya (Kini Papua Tengah,red)  Mei 1996 dibebaskan, bagaimana kisah pembesan yang mencekam? Berikut penuturan sandera, Adinda Arimbi Saraswati  kepada sastrawan dan wartawan senior, Ray Rizal dan Nina Pane yang saya sadur kembali dari bukunya 130 Hari Terpeangkap di Mapnduma dengan gaya bertutur. Buku setebal 327 halaman dicetak Pustaka Sinar Harapan Jakarta tahun 1997, di halaman 257 penulis memberi judul; Pesta Pembebasan Yang Mencekam. Peristiwa ini terjadi ketika saya  baru tiga tahun menjadi wartawan di Harian Cenderawasih Pos, Jayapura, tak terasa Mei 2024, sudah 28 tahun kisah itu berlalu.

 PAPUADALAMBERITA.COM. Penyanderaan di Desa Mapnduma, Kecamatan Tiom, Kabupaten Jayawijaya, Irian Jaya, yang terletak di bagian timur laut Cagar Alam Lorentz.

Mereka yang disandera yaitu: Tim dari Indonesia: Navy WTH Panekenan (28 tahun), Matheis Y Lasamahu (30 tahun) Jualita Tanasale (30 tahun), dan, Adinda Arimbi Saraswati (25 tahun).

Tim dari Inggris, Daniel Start (22 talhun), William “Bill” Oates (23 tahun), Annette Van der Kolk (22 tahun), dan Anna Mclvor (21 tahun).

Tim Antropolog: Markus Warip (36 tahun) dari Universitas Cenderawasih, Abraham Wanggai, dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Kanwil Kehutanan, Irian Jaya, Jacobus Wandikbo, putra daerah suku Nduga, pegawai Pemda Wamena yang diperbantukan sebagai tenaga pendamping Inpres Desa Tertinggal (IDT) untuk Mapnduma, Jacobus antropolog lulusan Universitas Cenderawasih, murid Markus Warip.

Peneliti World Wildlife Fund (WWF): Frank Momberg (Jerman), Mark van der Wall (Belanda) beserta istrinya yang sedang hamil, Martha Klein, dari United Nations Educatio nal, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO).

Kemudian markas TNI menggelar operasi militer membebaskan peneliti Ekspedisi Lorentz “95 yang disandera Organisasi Papua Merdeka (OPM) kelompok Kelik Kwalik di Mapunduma 8 Januari 1996.

Operasi yang sebagian besar beranggotakan Kopassus, dimulai sejak diketahui penyanderaan 8 Januari 1996.

Operasi dipimpin Komandan Jenderal (Danjend) Kopassus Brigjen TNI Prabowo Subianto, salah satu periwira yang ikut dibawah Prabowo dalam operasi itu adalah mantan Pangdam XVIII/Kasuari kini menjadi wakil BIN, Letjen TNI I Nyoman Cantiasa.

I Nyoman Cantiasa saat itu berpangkat Letnan Satu (Lettu) Infanteri sebagai Wakil Komandan Sub Tim Detasemen 81 (Penanggulangan Teror), Sat-81/Gultor Kopassus.

Operasi berhasil, dan berakhir  Mei 1996 setelah penyerbuan Kopassus ke markas OPM di Desa Geselama, Alama Mimika Provinsi Irian Jaya.

Dalam penyerbuan, dua dari 11 sandera ditemukan tewas, yaitu peneliti ornitologi, Matheis Yosias Lasembu dan peneliti bilogi, Navy WTH Panekenan.

‘’Pada hari kelima di Kamp 16 ada kurir datang menjumpai kami membawa pesan tertulis dari Kelly Kwalik di selembar kertas yang lusuh,’’ tutur Arimbi Sraswati dalam bukunya.

Pindah segera ke Geselama, begitu bunyi pesannya.

‘’Kami bingung Geselama yang sesungguhnya itu ada di mana. Pasukan GPK-OPM tidak pernah menyebut nama desa sungai atau gunung yang kami lewati, sehingga kami sulit memperkirakan posisi

kami. Kami menduga, adakalanya hanya berputar-putar di radius yang sama, tetapi melalui jalan yang lain.

Kami berangkat membawa serta seluruh barang karena akan meninggalkan Kamp 16 untuk selamanya, dan Justus bersama kami.

Kami kesal sekali karena perjalanan yang ditempuh sangat jauh tanpa komandan pasukan, hanya ada anak buah yang melakukan aksi tutup mulut.

Kami sengaja dibawa berputar-putar supaya kehilangan arah, rupanya karena menuju Desa Purua, markas Kelly Kwalik yang dirahasiakan.

Kedatangan kami disambut Titus Murip yang kali ini bergaya dengan senapan M 16.

Titus Murip menyalami kami satu persatu, Bill menolak ketika tiba gilirannya. Titus Murip naik pitam dan membentak Bill.

“Umur kamu ditentukan saya!” katanya sambil mengacung-acungkan senjata. Bill ketakutan setelah Mark menerjemahkan kalimat Murip.

Navy tidak suka melihat orang mengancam dan menekan, maka Navy balas membentak Titus, “Umur yang menentukan bukan orang tapi Tuhan!” Titus kesal mendengarnya dan buru-buru meninggal-kan kami.

Bill mau mengejar ingin minta maaf pada Titus Murip tapi dicegah Navy, “It’s okay Bill, forget it.

“Di Desa Purua kami tinggal di Kamp 17 yaitu honai yang sangat kecil sehingga berdesak-desakan. Pada tanggal 17 April, Delegasi ICRC datang membawa bantuan pangan serta obat-obatan.

Dokter Ferenc memeriksa kesehatan kami seraya membicarakan kemungkinan membawa pulang 4 orang, aku, Navy, Martha dan Markus, tapi tetap ditolak Kelly Kwalik. Perut Martha yang jelas membuncit karena kandungannya semakin besar, tak membuat Martha mendapat prioritas untuk bebas.

Martha mendapat kiriman buku proses melahirkan berbahasa Belanda, karena mereka orang Belanda. Dalam buku itu ada petunjuk tentang tindakan apa yang harus diambil. Martha dan Mark mendiskusikan hal itu, mereka berdua harus berjaga-jaga kalau Martha melahirkan di tengah hutan.

Ada beberapa buku lain tentang cara mengurus bayi dan membesarkan anak. Tetapi kami berdoa semoga ancaman pasukan GPK-OPM, “Kalian akan beranak pinak di sini” tidak akan berlaku.

‘’Aku meminjam dan melihat buku Martha itu, walaupun tidak mengerti bahasa Belanda tapi ada gambarnya,’’ kisah Arimbi.

“Oh begini ya kalau bayi ke luar,” aku berseru kepada Navy.

“Kasihan kalau terjadi di dalam hutan.”

“Mark keterlaluan, tahu istrinya hamil diajak ke hutan.”Navy menggerutu.

“Kalau kamu hamil tidak ada tugas penelitian, tidak ada jalan ke gunung atau ke hutan.” Ya kalau saya hamil saya mau dalam keadaan tenang dan bahagia, hangat suasananya di antara keluarga yang melindungi. ”

Aku tersenyum mengkhayalkan kemungkinan itu. Jangankan buku, kertas apapun yang berisi tulisan, berebutan kami baca, termasuk koran bekas pembungkus, sampai iklan-iklan-nya.

‘’Kami disandera dari bulan Januari sampai April, haus berita,’’.

Koran bulan Januari belum kami baca, ada banjir di Jakarta sampai Jalan Jernderal Sudirman terendam, kami baru tahu. Kami menjadi sangat rindu Jakarta dengan segala hiruk pikuknya.

Hanya sehari di Desa Purua yang terletak di atas bukit, keesokan-nya tanggal 19 April kami “dibawa turun” ke Geselama. Itulah Ge-selama yang sesungguhnya, lebih kecil dari Desa Mapnduma tapi

kami menganggapnya metropolis.

Ada beberapa pondok, Puskesmas, gereja, kebun-kebun yang terpelihara, dan helipad.

Di situlah rupanya helikopter the International Committee of the Red Cross (ICRC) biasa mendarat, dan gereja menjadi tempa tperundingan GPK-OPM – ICRC.

Kami mengira akan disuruh tinggal di salah satu pondok di Geselama agar dekat dengan Delegasi ICRC, tapi ternyata kami cuma lewat saja di situ kemudian dibawa naik ke bukit tidak jauh di seberang.

Kami tinggal di honai milik Abel Wandikbo yang memakai arloji Navy. Ada dua honai di pinggir hutan itu sehingga kami membagi diri menjadi dua kelompok.

Honai satu (1) ditempati Jualita, Matheis, Anna, Annette, Bill dan Da niel, sedangkan aku (Arimbis Saraswati), Navy, Mark, Martha dan Markus di honai dua (2).

Justus mundar-mandir antara honail dan honai 2, lalu menyebut honai 2 rumah orang sakit, karena ada aku, Martha dan Markus.

Justus Wonda memperlihatkan kepadaku surat yang ditulisnya pada tanggal 31 April, untuk Abraham Wanggai, teman kami yang sudah dibebaskan dan bertempat tinggal di Serui.

Justus dengan lugu mengutarakan isi hatinya yang kukutipkan di sini.

Bapa Abram dan Justus kami dua sama-sama makan, sama-sama tidur, sama-sama cerita, Bapa Justus tidak lupakan Abraham. Kami sebelas orang ini masi tinggal di hutan, tidak bisa masuk tempat terang, jadi Bapa Abraham jangan lupa berdoa untuk kami dan akan selamat ke luar.  Bapa Abraham apa yang barang ada bisa kirim untuk saya pakaian 4 pasang untuk aku. Kirim surat untuk saya Bapa Abraham surat ini sudah dapat dan baca harus kirimn balas untuk Justus Wonda. Kampung dekat Geselama.

Justus, si tahanan di hutan dekat Geselema.

Navy dan Mark sedang melakukan negosiasi di Geselama bersamna ICRC dan pimpinan GPK-OPM. Para pengawal berpesan pada kami yang tinggal di honai 1 maupun honai 2 supaya bersembunyi dan memasukkan semua barang berwarna terang.

Kami tidak masuk ke dalam honai, tapi duduk-duduk di luar melihat helikopter ICRC melintas di kejauhan.

Tidak disangka helikop ter itu mendekat dan ber-putar-putar sebentar di atas honai kemudian pergi.

Tiba-tiba seorang pengawal dari berlari menghampiri kami sambil berteriak dengan wajah sangar.

Aku, Markus dan Martha melompat masuk ke honai 2 karena ketakutan. Pengawal itu menyerbu dan menodongkan senapan M 16 langsung di dadaku.

“Apa itu..apa itu!” la berseru-seru tidak menentu.

Kulihat Markus Warip yang ada di depanku pucat pasi. “Bukan  salah kami pilot mendekat ke mari…,” kata Markus gemetar Martha Klein menjerit-jerit, “Buat apa…buat apa….

“Sedangkan aku tegang dan kalut. Kupikir kalau senjata itu ditembakkan tamatlah riwayatku. Kalau langsung mati aku pasrah, kalau darah terus mengucur sehingga matinya pelan-pelan bagaimana?

“Sembunyi, sembunyi!” perintah si pengawal sambil menodong-kan senjata ke sana ke mari. Kemudian ia pergi meninggalkan gerutuan panjang yang tidak kami mengerti. Aku lega moncong senjata itu tidak menempel lagi di dadaku, urung menyarangkan pelurunya di situ.(rustam madubun). Bersambung ke: Bagian (2) Mei 1996 Pesta Pembebasan Yang Mencekam: Bapakku mengirim surat Kepada Bapak Wakil Presiden Try Sutrisno

Saya dan Buku Sandera 130 hari terperangkap di Mapunduma. FOTO: M RAGIL MADUBUN.PAPUADALAMBERITA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *