Papua

Bagian (4) Mei 1996 Pesta Pembebasan Yang Mencekam: Penyelamatan Militer, “Betul Pak Silas, Tentara Marah Karena OPM Ingkar Janji

332
×

Bagian (4) Mei 1996 Pesta Pembebasan Yang Mencekam: Penyelamatan Militer, “Betul Pak Silas, Tentara Marah Karena OPM Ingkar Janji

Sebarkan artikel ini
Pimpinan OPM Kelik Kwalik saat menyambut Tim ICRC, Palang Merah Internasional di Desa Mapunduma Irian Jaya pada Mei 1996. Tampak Adinda Arimbi Saraswati (kacamata) dan sejumlah Sandera. FOTO: TANGKAPAN LAYAR Buku Sandera 130 hari terperangkap di Mapunduma.
Print

PAPUADALAMBERITA.COM.MANOKWARI –  Kami terbangun pag di hari di kamp 19 dengan perasaan nyaman. Seluruh tubuh kami terasa sakit, lebih sakit lagi hati kami.

Aku, Jualita, Anna dan Annette mengeluarkan barang-barang dar kardus. Kami tidak jadi memberikannya kepada penduduk, karena pembebasan kami batal. Sesudah mandi Navy membuat sup kacang hijau, Matheis dan Markus asyik merokok sambil l melamun, aku dan Jualita membagi-bagikan coklat. Kacang hijau, rokok dan coklat itu semuanya merupakan sisa pemberian ICRC. Bill dan Daniel perasaan tida bakar sisa daging babi yang dibawa Justus dari pesta pembebasan yang gagal.

Kami melihat helikopter putih ICRC melintas menuju Geselama dan tidak mau berpikir terlalu jauh tentang apa yang mau merek lakukan. Pembebasan yang gagal pada tanggal 8 Mei kemarin membuat kami berada di titik nol.

Kami berusaha membuat segal-sesuatu “normal’ kenmbali, seperti biasa kami ditawan. Bahkan Navs

minta tolong pada Nicolas membuatkan anak tangga di dua sis rumah panggung yang kami tempati. Siapa yang tahu kami akar berada berapa lama di sini. Bukan mnustahil seperti ancaman pasukan GPK-OPM, kami akan beranak pinak di sini, bertanam ubi di sini beternak babi di sini, dan mati di sini. Ya, siapa yang tahu.

Hari semakin siang, dan kami makan bersama, diam tak berkata kata. Justus juga telah kehilarngan gairah untuk menyanyikan lagu andalannya Nenek Moyangku Orang Pelaut. Dia pun kehilangan rasa humornya yang sering membuat kami tertawa. Kemungkinar untuk tertawa itu semakin habis tatkala kami mendengar suara helikopter melintas lagi dari arah yang terbalik, sekarang mening galkan Geselama. Kami semua saling pandang, tetap diam, tanpa kata-kata. Karena apa lagi yang dapat kami katakan? Kata-kata su dah kehilangan makna.

Tak lama kemudian Silas datang bersama seorang lelaki tua memakai topi lebar, sebelah matanya cacat, menenteng mesin tik.

“Panglima pesan untuk Markus ketik dokumen-dokumen,” kata Silas. Markus mengiyakan tapi tidak mengerjakan. Lalu Silas menuturkan pembicaraan ICRC dengan Kelly Kwalik. “Kelly minta

sandera ditebus dengan pengakuan Republik Papua Barat tambah bonus senjata. ICRC tolak. Buntu…buntu,” kata Silas berulang-ulang.

Kata-kata itu pun tidak mempengaruhi kami. Tapi belati berkarat yang dipermainkan di tangannya membuat aku berpikir, barangkali ada maksud tertentu di balik kata “buntu” itu.

“Vy, jangan dekat-dekat Silas, dia bawa belati. Jangan salah bicara nanti dia kalap bisa bunuh kita semua,” Aku mengingatkan Navy.

“Iya,iya,” Navy mengangguk-angguk. Ketika mendengar mesin pesawat terbang yang suaranya lebih

keras dari helikopter, kami semua menghamnbur ke luar pondok.

Kami melihat pesawat yang bunyinya menderu-deru itu mengarah ke Geselama. Aku tidak tahu jenis pesawatnya tapi bentuknya lebih besar dari helikop ter, di kiri kanannya tidak berpintu. Pesawat

itu terbang rendah dengan gerakan lamban, sehingga kami yang berada di bawah bisa melihat jelas sosoknya dan warnanya yang sebagian hijau sebagian perak. Hanya beberapa menit sesudahnya

kami mendengar suara roket menggelegar, dan senapan mesin menghamburkan peluru. Bau mesiu tercium tajam sampai ke tempat kami.

Tahulah kami itu pesawat tempur yang membombardir Geselama. Hari ini tanggal 9 Mei 1996, ABRI langsung bergerak begitu ICRC menyerah.

Mengerikan sekali berada dalamn situasi seperti yang sering kami tonton dalam film-film perang. Kami berdoa sekhidmat-khidmatnya agar ABRI tidak salah sasaran melukai kami. Pada saat yang sama kami juga takut pasukan GPK-OPM kelompok Kelly Kwalik menemukan kami lalu melampiaskan dendamnya kepada karmi. Mereka pasti marah besar dengan adanya campur angan militer yang membuat mereka mengidap trauma.

Kami kaget, takut, dan panik, lupa pesan Dr. Ferenc Mayer agar jangan bergerak dan tetap tiarap. Kemungkinan besar ABRI sedang menghabisi kampung musuh dengan segala isinya, tapi bukan tak

mungkin kami menjadi korban karena berada dalam radius yang sama. Aku lari terbirit-birit tanpa alas kaki, kemudian ingat Navy masih di pondok, maka aku menghentikan langkah menunggu Navy.

Kasihan Anna, saking kalutnya sampai tak mampu menahan buang air kecil. Dengan tubuh gemetar Anna langsung berjongkok membuka celana sambil mulutnya berkomat-kamit berdoa. Navy menyusulku menyodorkan sepatu yang buru-buru kupakai tanpa kaus kaki. Itu berarti kakiku bakal lecet, tapi lebih baik daripada Markus yang tidak memakai sepatu sejak awal penyanderaan sehingga kakinya babak belur.

Kami mencari jalan ke luar menurut impuls kami saat itu, yaitu meminta Silas membawa kami ke arah sungai dengan harapan akan bertemu pasukan ABRI yang berada di darat bukan di udara, yang menurut kami lebih mudah mengenali kami.

Bagi Silas permintaan kami itu bagai pucuk dicinta ulam tiba. Dengan beringas ia memerintahkan, “Ayo jalarn, cepat, cepat!” Silas dengan 15 orang pasukan bersenjata tradisional, tanpa seorangpun menyandang senapan M16, menggiring kami menuju sungai. Dengan sendirinya kami tidak sempat membawa apa-apa, kecuali pakaian yang melekat di badan.

Yang ada dalam benak kami hanyalah keinginan mencari ABRI yang kami perkirakan tidak mengetahui lokasi terakhir kami secara tepat. Justus terpisah dari kami, sedang mengambil barang-barang

yang tertinggal di Kamp 18.

“Justus, kasihan Justus, ke mana dia.” Kami semua resah ketika menyadari Justus tidak ada bersama kami. Aku tak tega membayangkan Justus mernjadi korban, baik karena peluru yang dilancarkan ABRI atau seandainya ia dibunuh pasukan GPK-OPM yang menuduh Justus mata-mata kami. Justus, si tulus hati, penghibur dan informan kami yang setia, kejujurannya tak kami sangsikan lagi setelah kata-katarnya terbukti benar bahwa pembebasan kami tanggal 8 Mei hanya omong kosong Kelly Kwalik.

Justus, ke mana Justus? Pertanyaan itu terus menerus mengusik hati kami. Kami tidak tahu persis apa yang terjadi di Gesalam, hanya bisa menduga-duga barangkali di des aitu terbakar menjadi debu.

Akhirnya, kami sampai di sungai terdekat, tapi tak seorangpun prajurit ABRI kami jumpai disana. Silas menyuruh kami mendaki bukit di seberang sungai titik suara pesawat tempur sudah tak terdengar tak kedengaran, sebagai gantinya helikopter melayang-layang di atas kami, terhalang lambatnya daun-daun tetap saja kami tak tampak dari udara.

Navy berusaha membujuk Silas. “Tolong Pak Silas, beri kami kesempatan bicara dengan orang di pesawat itu, mereka hanya cari kami bukan cari OPM”.

Mark mendukung Navy, “Betul Pak Silas, tentara marah karena OPM ingkar janji. Tolong Pak Silas kasih waktu kami untuk menjelaskan kepada mereka. Kami jamin Pak Silas tidak akan diapaapakan.”
“Kita tidak berurusan dengan tentara, kita tidak mau tentara, kita mau serahkan kamu ke misionaris atau palang merah di Mapnduma,” Silas bicara berapi-api.

Navy masih terus memohon-mohon, “Tolong Pak Silas, beri saya kesempatan menemui mereka, saya tidak lama, saya cepat kembali. Kalau mereka datang Pak Silas boleh pergi, kami akan melindungi Pak Silas, “.

‘’Kami semua ikut membujuk Silas, bahkan Annette ikut-ikutan. “Please Silas, please Babbei.” Waduh, Annette sampai terlepas membocorkan rahasia panggilan kami terhadap Silas selama ini, yaitu Babe. Tapi Silas takmempan dibujuk bahkan oleh airmata perempuan hamil seperti Martha.

“Jalan terus!” perintah Silas sambil menghunus belati berkarat. Suara helikop tak terdengar lagi, hutan kembali sunyi. Kami kehilangan ICRC, kehilangan ABRI, dan dipaksa terus berjalan.

Diam-diam kami berharap perjalanan kami ini untuk menghindar dari pasukan GPK-OPM Kelly Kwalik sekaligus menuju tempat yang mudah dijangkau ABRI. Tapi sangat sulit, Silas membawa kami memasuki hutan yang lebih jauh, lebih dalamn.

Kami kini berada di rimba belantara yang gelap, malam hari berbaring di bawah pohon, tidak tidur hanya merebahkan badan. Bagaimana mungkin memejamkan mata di tempat yang tidak berdinding tidak beratap, beralas karpet dari daun-daun, berselimut udara dingin yang menggigilkan tulang.

Kami sebut menginap di alam terbuka itu sebagai Kamp 20, dalam suasana tegang dan mencekamn. Pasukan GPK-OPM pimpinan Silas juga tidak tidur, berjaga-jaga di sekeliling kami. Kalau kami ingin buang air kecil atau besar harus minta izin dan mesti dikawal anggota pasukan. Mereka berbicara berbisik di antara mereka dengan gerak-gerik sangat gelisah, penuh curiga.

Kelihatan sekali mereka ketakutan dengan operasi yang dilancarkan ABRI. Mungkin mereka memperkirakan sudah terkepung, dan para prajurit ABRI berada dekat di sekitar mereka. Kalau ada bunyi atau gerakan sedilkit saja mereka bersiaga, adakalanya langsung memanah ke arah yang dicurigai.

Suara angin yarng menggesek dedaunan, gerakan kecil binatang malam, dapat membuat mereka melepaskan anak panah.

Dini hari kami diperintahkan berjalan lebih cepat. Dalam cuaca yang masih gelap dan berkabut kami meraba-raba. Setiap dua orang dari kami diselingi seorang anggota pasukan. Mereka memberi peringatan keras supaya kami tidak meninggalkan jejak, dilarang membuang apapun bahkan ranting tidak boleh patah.

Tapi aku berada pada hari terakhir menstruasi, masih memakai pembalut, dan berniat melepasnya. Diam-diam kulemparkan pembalut itu ke semak-semak di sebuah tebing.(rustam maduabun)Bersambung ke: Bagian (5) Mei 1996 Pesta Pembebasan Yang Mencekam: Penyelamatan Militer, Pak Silas, Lepaskan Kami Kepada ABRI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *