PAPUDALAMBERITA.COM.Perjalanan pelarian ini lebih berat daripada persembunyian, semakin gila-gilaan. Kami diperintah berjalan dari pagi sampai malam tanpa makan dan minum. Makanan kami hanya buah pandan yang disebut kelapa hutan karena rasanya seperti kelapa, yang kami temukan di perjalarnan dalam jumlah yang terbatas.
Kami tidak membawa termos sehingga tidak punya wadah untuk menampung air. Sejauh ini kami pun belum menemukan sungai atau pancuran, hausnya bukan main. Suatu ketika kami menuruni tebing ke arah jurang, kami merayap di dinding tebing seperti cicak. Aku melihat air merembes di dinding tebing itu, langsung kutempelkan bibirku di sana untuk mernyedot air.
“Sedang apa kamu De?” Navy bertanya heran.
“Minum,” jawabku singkat lalu melanjutkan menghirup-hirup.
Kontan Navy meniru perbuatanku, diikuti oleh yang lain. Kami beramai-ramai menempelkan bibir di dinding tebing, padahal air itu mengalir dari atas tebing yang telah kami injak-injak sebelumnya. Air bekas injakan itu kuminum untuk menjaga jarngan sampai pingsan karena aku menderita infeksi ginjal dan sangat membutuhkan air.
Aku sama sekali tidak mempunyai obat apapun yang dapat meringankan rasa sakitku. Kalau tak ada air, kuhisap lumutlumut basah yang menempel di dinding tebing, sampai Navy mempermudahnya dengan mencabut lumut-lumut itu lalu memerasnya ke dalam mulutku yang menganga. Aku tidak bisa memeras
sendiri karena tidak bertenaga, airnya hanya ke luar sedikit.
Selaindiperas dan airnya diminunm, lumut juga kami pergunakan untuk membersihkan diri setelah buang air besar, sebagai pengganti tisu.
Pasukan GPK-OPM sikapnya semakin kasar terhadap kami, mereka tidak mau membuang waktu dengan mencari jalan yang masuk akal. Biarpun jurang harus kami lewati, termasuk arus sungai yang deras, bahkan air terjun diterobos.
Kami mengandalkan kekuatan akar-akar untuk berpegangan. Situasi bertambah runyam dengan setiap kali salah jalan, tampaknya mereka sendiri belum pernah melewati medan itu, tapi terpaksa mereka tempuh untuk menghindari kepungan ABRI.
Mereka memang terjepit, buktinya kami bertemu beberapa anggota pasukan GPK-OPM yang memisahkan diri dan lari dari kejaran ABRI. Mereka terpancar-pencar dan kucar-kacir. Tapi setelah mereka pergi Silas dengan bangga mengatakan, “Heli ABRI ja-tuh di sungai, terbakar, Yudas tembak, lima tentara mati.
“Kami sungguh tidak percaya kabar itu, bagaimana mungkin pasukan ABRI dengan persenjataan begitu canggih, bisa dengan mudah ditembak oleh Yudas? Ada lagi berita yang tidak dapat kami percaya, yang datang dari dua anggota GPK-OPM yang berlari-lari menemui Silas.
Setelah mendengar uraian mereka Silas sangat ma-rah dan berpaling menatap Navy dan Mark, “Kemarin di helikopter besar itu ada kulit putih ikut menembaki Geselama.” Kami mlongo mendengarnya, tidak mungkin ABRI mendatangkan orang asing untuk menghadapi masalah di dalam negeri.
Walau bagaimanapun berita yang simpang siur itu ikut memperparah kondisi mental kami di saat fisik kami dalam keadaan kritis, perut kosong dan baju basah. Kami pun terus dipacu membuka jalan yang belum pernah dipijak manusia, masih tertutup rotan, duri-duri yang tajam dan akar-akar pohon yang bergantungan maupun melilit-lilit.
Kami juga mendengar suara pesawat tempur yang meroket suatu wilayah di bawah bukit, getarannya sampai ke tempat kami, bau mesiu juga tercium, lalu kami melihat asap putih me-nyelimuti wilayah tersebut.
Pasukan GPK-OPM ketakutan, kami pun ketakutan karena disergap pertanyaan apakah penyelamatan oleh ABRI itu dapat menyelamatkan nyawa kami tanpa jatuh korban? Apa nanti tidak terjadi salah tembak karena kami berada dalam satu rombongan dengan GPK-OPM?
Atau ABRI bisa menyelamatkan kami disertai pertumpahan darah di depan mata kami antara para prajurit ABRI dan pasukan GPK-OPM? Semua itu merupakan tanda tanyabesar yang meresahkan kami, menciutkan nyali kami.
Maut terasa begitu dekat dengan kami, menari-nari di antara kami, siapa yang akan dijemput oleh maut, siapa, siapa?
Suara-suara ribut di hati kami tentang siapa yang mungkin mati di antara kami ditingkah suara santer helikopter yang berputar-putar di atas kami. Melegakan karena berarti kami masih dicari, menakutkan kalau ada roket dijatuhkan di atas kami yang terhalang pohon-pohon yang tinggi dan berdaun lebat.
Kami tidak dapat melihat helikopter, sebagaimana awak helikopter itu tak dapat melihat kami. Dalam perjalanan selanjutnya rombongan kami terpisah menjadi 3 kelompok. Berada pada posisi terdepan Daniel, Bill, Anna, Annette, Jualita dan Matheis dikawal beberapa anggota pasukan termasuk Angin. Aku, Navy, dan Markus di tengah-tengah, paling belakang Mark dan Martha dikawal Silas. Kecepatan berjalan kami sangat terbatas, sesekali berhenti hanya 5 menit.
Aku sering bertanya pada Navy, “Kamu masih kuat Vy? Kamu enggak sakit Vy?” Padahal akulah yang merasakan sakit di bagian perutku semakin menjadi-jadi.
Navy balik mengatakan, “Saya tidak apa-apa, badan kamu yang dingin De, kamu dekat-dekat saya saja.” Kami saling menguatkan karena tak ada lagi yang bisa kami lakukan.
Karena kemampuan jalan yang berbeda-beda, secara tidak sengaja 3 kelompok terpisah jauh, masing-masing berjarak sekitar 3 jam perjalanan. Hari sudah gelap ketika aku, Navy dan Markus sampai di sebuah pondok yang ditempati Abel Wandikbo beserta 2 orang istri dan beberapa saudaranya yang mengungsi dari Geselama.
Aku menyebut tempat ini sebagai Kamp 21. Mereka menghidangkan ubi, buah kopi dan buah pandan yang langsung kami makan dengan lahap. Kami duduk mengelilingi perapian dalam dinginnya malam hari di wilayah yang mencapai ketinggian 3000 – 4000 meter Diatas Permukan Laut (DPL). Aku risau memikirkan keadaan teman-teman yang lain, apakah mereka bisa sampai di suatu pondok untuk menginap atau bermalam di tempat terbuka, bagaimana kalau hujan?
Pagi hari kami melanjutkan perjalanan menyusuri sungai dan gembira bertemu Daniel. “Saya mau ke sungai,” kata Daniel “yang lain ada di sana,” Daniel menunjuk suatu arah. Daniel dikawal lelaki tua dengan sebelah mata cacat dan memakai topi yang datang bersama Silas di Kamp 19 membawakan mesin ketik.
Kami sampai di pondok yang kusebut Kamp 22, berjumpa dengan teman-teman yang semalam kukhawatirkan. Tak lama kemudian Mark dan Martha muncul dengan kelelahan luar biasa. Kami semua agak tenang karena sudah berkumpul lagi, dan bisa beristirahat. Tapi di pondok itu kami kesulitan mendapatkan air karena sungai letaknya jauh dan kami tidak bebas ke luar masuk pondok.
Kebetulan aku menemukan wadah plastik bekas sabun colek dan menunjukkannya kepada Navy. “Ini bisa buat menampung air Vý” Dengan wadah tersebut Navy menampung air dari sebuah cucuran
kecil, 10 menit baru bisa penuh. Navy membawakan air untuk kam minum bergantian seorang sedikit, yaitu aku, Jualita, Matheis dan Markus. Kemudian “mangkuk” itu kami serahkan pada Mark untuk dipakai bergiliran.
Hari berikutnya Silas menyuruh kami menulis surat untuk penduduk Mapnduma atau Palang Merah.
“Palang Merah tidak ikut campur lagi,” kata Mark. “Sudahlah Pak Silas, lepaskan kami kepada ABRI, mereka tidak akan berhenti mencari kami. Pak Silas bisa bebas juga, tidak bingung seperti ini.”
Tdak bisa!” Silas membentak. “ABRI musuh, kami mau Palang Merah atau misionaris. Tulis surat!” Mark dan Navy mendiskusikan isi surat yang kami buat, aku yang menulis dengan tangan ngilu dan gemnetar karena dingin dan lapar. Surat itu dibawa oleh dua orang anggota pasukan GPK-OPM ke Mapnduma, lalu Silas memaksa kami pindah tempat, tapi kami menolak.
Tentara sudah dekat, tentara sudah dekat,” kilah Silas.
“Kami tunggu jawaban surat yang dikirim ke Mapnduma. Kami perlu waktu satu dua hari,” Navy memberikan alasan.
Silas setuju kami menunggu sebelum melanjutkan perjalanan menuju Mapnduma. Pagi sampai siang hari kami diributkan olej suara pesawat yang mendengung-dengung di atas kami. Setiap kali pesawat itu berbunyi, Silas menyuruh kami menyuruh kami ke luar pondok, bersembunyi di balik pohon, Silas sendiri bersiaga menghunus belati berkarat andalannya.
Setelah pesawat itu menjauh kami disuruh masuk ke pondok. Demikian berulang kali, dan suara pesawat itu hilang-hilang timbul selama dua hari.
“Mungkin itu bukan helikopter,” Mark memperkirakan. “Barangkali pesawat untuk merndeteksi kita melalui panas tubuh atau sesuatu yang panas yang ada di sekitar kita.”
“Mereka bisa memantau posisi kita, begitu Mark?” tanya Navy.
“Ya, kita harus nyalakan api supaya sensornya lebih jelas, ” ujar Mark.
Navy segera mengerti. “Di antara udara dingin ada yang hangat, pasti ada manusia, begitu logikanya.”
Maka kami pun membuat api unggun beramai-ramai, tapi Silas marah, berteriak-teriak, “Bunuh, bunuh, tidak boleh asap, tidak boleh asap, bongkar, bongkar!”.(rustam maduabun) Bersambung ke:Â Bagian (6) Mei 1996 Pesta Pembebasan Yang Mencekam: Navy dan Matheis Meninggal, patahkan ranting Berharao ABRI Temukan Jejak Kami