Papua

Bagian (6) Mei 1996 Pesta Pembebasan Yang Mencekam: Navy dan Matheis Meninggal, Patahkan Ranting Berharap ABRI Temukan Jejak Kami

224
×

Bagian (6) Mei 1996 Pesta Pembebasan Yang Mencekam: Navy dan Matheis Meninggal, Patahkan Ranting Berharap ABRI Temukan Jejak Kami

Sebarkan artikel ini
Pimpinan OPM Kelik Kwalik saat menyambut Tim ICRC, Palang Merah Internasional di Desa Mapunduma Irian Jaya pada Mei 1996. Tampak Adinda Arimbi Saraswati (kacamata) dan sejumlah Sandera. FOTO: TANGKAPAN LAYAR Buku Sandera 130 hari terperangkap di Mapunduma.

PAPUADALAMBERITA.COM.Pagi tanggal 15 Mei 1996, begitu membuka mata Navy berkata padaku yang juga baru bangun tidur, “De, saya mimpi pesta pernikahan, seharusnya saya menikah tapi upacaranya batal.”Aku tidak sempat bertanya Navy mau menikah dengan siapa.

Karena yang diceritakannya hanya mimpi, mungkin saja dalam impian itu ada wanita lain. Tapi kami tidak membahas lebih lanjut mimpi Navy itu, melainkan langsung memakai sepatu, sebab sudah turun perintah berjalan dari Silas. “Kita ke Mapnduma,” ujar Silas.

Sebelum berangkat Silas berbicara cukup banyak pada pasukannya dalam bahasa Nduga, sementara kami sarapan kelapa hutan.

Kami tidak tahu apa yang dikatakan Silas, terasa sekali kami kehilangan Justus yang biasanya menterjemahkan untuk kami bahasayang tidak kami mengerti itu. “Kita serahkan kamu ke penduduk, atau misionaris. Kalau ada Palang Merah kita panggil,” kata Silas lagi kepada kami.

Percaya atau tidak percaya janji Silas itu kami tetap harus menuruti perintahnya. Medan yang kami lalui tak kurang berbahaya dari medan-medan sebelumnya, naik turun bukit menembus hutan belantara. Ada tebing yang harus kami susuri dengan merambat seorang demi seorang, sementara di bawahnya jurang menganga.

Kami melakukannya tanpa alat pengaman hanya berbekal kenekadan dan kepasrahan semata-mata. Kadang-kadang ada salah seorang dari kami yang terperosok bahkan meluncur dan bergantung di sisi tebing.

Bill dan Daniel sering jatuh karena mereka melangkah dengan cepat, langsung injak, tahu-tahu ada lubang atau tersandung batu atau akar. Kalau aku terjatuh aku berteriak memanggil Navy, lalu Navy memegangi tanganku agar bangkit kembali.

Jatuh bangun bagi kami merupakan hal biasa, pasukan GPK-OPM tidak menaruh iba.

Selama ini kalau ada di antara kami yang jatuh, pengawal tidak berbuat apa-apa, tapi sekarang dalam suasana dikejar-kejar tentara mereka tidak sabar dan mendorong-dorong kami agar berjalan lebih cepat. Suatu kali aku terperosok, belum sempat bangkit tahu-tahu didorong dari belakang oleh pengawal berbaju hijau. Aku berseru keras sekali, “Saya ini sakit, kamu jangan dorong-dorong.

“Navy meredakanku, mengelus-elus bahuku, “Tenang De, tenang, jangan begitu, tenang.”Mark membelaku dengan membentak pengawal berbaju hijau itu. “Memang Adinda sakit, kamu tidak boleh dorong.”

Pengawal itu, yang sudah kami kenal lama tapi tidak kami ketahui namanya, diam saja tidak merasa bersalah sama sekali. Dia tetap memaksa kami segera berjalan. Karena Navy takut aku didorong lagi, maka kami bertukar tempat. “Kamu di depan De, saya di belakang, supaya saya bisa jaga kamu kalau tiba-tiba jatuh.

“Memang, ini perjalanan yang rawan jatuh. Mark juga terpeleset di sebuah titian kayu yang licin, jatuh dengan posisi punggung terhempas. Kami memohon pada Silas agar boleh beristirahat, dan diizinkan. Aku menggunakan peluang ini untuk buang air kecil bersama Jualita di balik pepohonan. “Sampai kapan kita akan begini Mbak Lita, sampai kapan,” rintihku.

Rintihan Jualita tak kalah pilu, “Ya, sampai kapan kita harus lari-lari begini, sembunyi-sembunyi begini.”

Ketika kembali ke tengah-tengah rombongan, Matheis menawarkan aku dan Jualita buah hutan seperti apel, berwarna merah agak kehijauan dan agak keras. Aku dan Jualita tidak langsung memakannya, kami ragu-ragu walaupun perut kami lapar sekali. Tahu-tahu Matheis mengambil kembali buah itu dan memakannya, “Saya lapar,” katanya.

Aku bertanya, “Enak tidak Tes?”

“Rasanya pahit,” sahut Matheis sembari nyengir. “Ini buah makanan burung,” lanjutnya, “Kamu jangan makan Din, nanti bisa mati. Biar saya saja yang makan.”

Aku bingung mendengar kata-kata Matheis yang saling bertolak belakang. Kalau makanan burung berarti tidak beracun, tapi kenapa Matheis mengatakan bisa mematikan?

“Nanti kamu yang mati Tes,” aku menggoda.

Matheis diam saja, terus memakan buah itu tanpa membagi aku maupun Jualita. Navy yang sejak tadi membisu tiba-tiba bertanya padaku. “Kalau kita sudah pulang, kira-kira Bapak Ibu kamu tambah sayang enggak ya pada saya?”

“Tentu saja Vy, pasti lebih sayang. Kamu mau apa saja pasti diberi,” jawabku tersenyum.

“Saya ingin kita resmi menikah secepatnya, supaya tenang. Kamu mau ‘kan De?” Navy mengulangi lagi lamarannya.

“Saya mau Vy, saya mau,” jawabku mantap.

“Sesudah bebas kita pergi liburan ke mana ya De?” tanya Navy lagi. Rupanya Navy sedang melamunkan banyak hal yang indah dan manis.

“Ke Bali saja Vy.” Aku menanggapi dengan antusias.

“Kita sewa mobil atau sepeda motor?”

“Mobil saja.”

“Ah, lebih enak sepeda motor, nanti saya bonceng kamu, kita keliling-keliling.”

“Terserah kamu Vy, begitu juga enak.” Aku tertawa bahagia membayangkan suasana romantis yang akan kami lalui bersama. Barangkali Navy merasakan hal yang sama, kami saling menggenggam tangan, menyatukan dua hati.

Angan-angan kami dibuyarkan dengan perintah berjalan lagi. Di saat kami berada di bawah kerapatan dan kelebatan pohon-pohon yang tinggi, kami dikejutkan atau justru digembirakan dengan suara

helikopter yang menderu-deru. Kami juga mendengar suara pria berseru-seru memanggil memakai pengeras suara. Kami tidak paham apa yang dikatakan, karena dalam bahasa Nduga. Kalimat panggilan

itu diucapkan berulang-ulang dalam nada yang sama.

Navy berhenti melangkah dan menghampiri Silas. Sandera yang lain ikut berhenti lalu mengerubungi Silas. “Pak Silas, itu artinya apa, siapa mereka?”

Silas tidak menjawab malah membentak, “Sudah, jalan terus!”

Navy penasaran. “Dengar Pak Silas, itu bukan tentara, itu masyarakat biasa mau mencari kita.”

“Bukan, itu jebakan,” tegas Silas.

Mark memberi usul, “Pak Silas, kita harus menampakkan diri.”

Tapi Silas melotot, “Itu bahasa Nḍuga Wamena, bukan bahasa Nduga sini. Panggil-panggil penduduk yang lari ke hutan supaya pulang. Itu jebakan tentara.” Kemudian Silas mengibaskan tangan,

“Ayo jalan!”

Mendengar komando Silas, para pengawal langsung mendorong kami agar mengayunkan langkah. Mereka semakin memperketat penjagaan, setiap sandera dikawal 2 anggota pasukan GPK-OPM,

membuat kami was-was, apakah ABRI sudah makin dekat atau GPK-OPM sedang merencanakan sesuatu terhadap kami?

Menurut Silas kami menuju Mapnduma. Kami tidak tahu arahnya benar atau tidak atau hanya tipuan Silas. Lagipula benar atau salah kami tidak punya pilihan apa-apa. Kami hanya dapat menerka bahwa perjalanan berputar-putar. Beberapa kali mereka meminta kami berhenti dan menunggu beberapa saat.

Satu atau dua orang anggota pasukan menghilang, mungkin untuk mengamati situasi, lalu kembali untuk memberi informasi kepada Silas. Setelah itu barulah perjalanan dilanjutkan.

Suatu waktu kami melewati padang terbuka yang luas hanya ditumbuhi tanaman perdu sehingga cukup jelas terlihat dari udara. Kami sangat berharap helikopter muncul saat itu sehingga bisa melihat kami dengan gamblang dan memberi pertolongan, tapi harapan tinggal harapan. Setelah melintasi padang perdu itu kami mulai menapaki jalan menurun yang cukup tajam dengan pohon-pohon yang rapat di sekitarnya. Pasukan GPK-OPM melarang kami berjalan di tanah yang becek.

“Jangan tinggal bekas, jangan tinggal bekas.” Begitu pesan mereka berulang kali. Tapi aku tidak peduli, malah sengaja menjejakkan kaki dengan kuat di tanah yang basah sembari menancapkan tongkat dalam-dalam, sekaligus mematahkan ranting dan daun, mengharapkan ABRI menemukan jejak yang sengaja kubuat.

Tidak lama berjalan kami diminta berhenti lagi. Pasukan GPK-OPM yang berada di baris terdepan turun ke bawah bukit, memeriksa. Kami menggunakan kesempatan ini untuk melepas lelah. Aku dan Navy sering mengalami hal-hal yang tidak biasa. Setiap kali kali kami duduk bersama di atas sebatang kayu selalu patah, di atas batu batunya menggelinding. Kejadian itu berulang sampai empat kali.

“Kenapa ya Vy, padahal kamu makin kurus tapi kok makin berat,” ujarku keheranan.

Ketika aku dan Navy duduk di batang pohon yang melintang, patah lagi, sampai aku terguling, sakit sekali. Kucubit lengan Navy kuat-kuat sambil merajuk, “Sudah Vy, kita duduk sendiri-sendiri.”(rustam madubun) Bersambung ke:Bagian (7) Mei 1996 Pesta Pembebasan Yang Mencekam: Navy dan Matheis Meninggal, “Tolong Saya Sandera” “Kami ABRI Batlyon 330”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *