Timika: Sebuah Catatan Perjalanan dari Tahun 2001 hingga Kini: Langit Timika, seperti dulu, masih menyimpan pantulan warna emas yang berpendar dari tanahnya. Di setiap sudut kota yang berubah, ada jejak-jejak kecil kenangan yang menempel di dinding waktu. Aku datang pertama kali pada tahun 2001, ketika debu merah jalanan dan semangat membangun bersatu dalam tarian pagi.
Dari koran Radarn Timika hingga Timika Express, dari berita ke berita, aku menapaki lembar demi lembar perjalanan ini menulis, merekam, dan menjadi saksi bisu perubahan sebuah kota yang tidak pernah berhenti bermimpi. Kini, di tahun 2025, aku kembali, membawa catatan panjang itu, membuka lagi lembaran-lembaran lama yang dulu kutulis dengan tinta semangat, seraya merekam babak baru yang mulai menggeliat di bumi Timika yang terus bertumbuh.
PAPUADALAMBERITA.COM.TIMIKA- Di suatu pagi tahun 2001, ketika anak pertamaku belum genap satu tahun, aku menjejakkan kaki di tanah Timika, kota yang kelak menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidupku.
Aku datang bukan untuk mencari pekerjaan, meski saat itu Timika bergemuruh dengan peluang, dari tambang raksasa PT Freeport Indonesia hingga geliat perusahaan-perusahaan lain yang memenuhi sudut-sudut kota.
Aku membawa pekerjaan itu sendiri. Dengan secarik mimpi dan tekad membaja, aku hadir membuka sebuah lembaran baru: Harian Radar Timika, anak perusahaan dari Harian Cenderawasih Pos dan Jawa Pos Group.
Di bulan Mei 2000, Radar Timika terbit untuk pertama kalinya, membawa suara-suara baru dari tanah Amungsa ke dalam lembaran berita.
Sepuluh tahun berselang, tepat 10 Mei 2010, perjalanan itu berlanjut dengan lahirnya Harian Timika Express, harian kedua yang kutangani di kota ini.
Dari ruang redaksi yang sederhana, kami menyalakan bara semangat baru di tengah denyut kota yang terus tumbuh.
Waktu berjalan seperti sungai yang tenang. Tak terasa, dua putra lahir menyusul abang mereka yang lebih dahulu melihat dunia di Jayapura.
Putraku yang kedua lahir di Rumah Sakit Mitra Masyarakat (RSMM) Timika — sebuah rumah sakit yang menjadi saksi bisu perjuangan keluarga kecil kami.
Mereka bertumbuh, bersekolah di SD Kasih Ibu, sebuah lembaga pendidikan yang dibangun dari tangan dingin mendiang Klemen Tinal, sosok yang pernah menjadi Bupatu Mimika dan Wakil Gubernur Papua.
Timika, di tahun-tahun itu, perlahan berdandan. Alo Rafra sebagai Penjabat Bupati Mimika, lalu Klemen Tinal bersama wakilnya, H. Abdul Muis, memulai langkah-langkah kecil membangun kota ini.
Aku masih ingat, bagaimana aku menyaksikan Gedung Eme neme Yauware perlahan-lahan berdiri megah, membelah cakrawala kota.
Gedung DPRD Mimika pun pernah kulihat dalam tahap-tahap akhirnya, meski sayang, aku tidak sempat menghadiri peresmiannya.
Salah satu sudut kota Timika di kawasan Jalan Hasanuddin.FOTO: TRIYATINI. PAPUADALAMBERITA
Jalan-jalan, pelan namun pasti, mulai berubah. Jalan Yos Sudarso, misalnya, dipecah menjadi dua jalur. Pelabuhan Pomako dan Bandara Moses Kilangin saat itu baru sekadar mimpi di atas kertas.
Mungkin inilah satu-satunya bandara di Indonesia yang memiliki satu landasan pacu, namun dengan dua ruang kedatangan dan keberangkatan yang saling berhadapan: Bandara Moses Kilangin.
Satu sisi dikelola oleh PT Freeport Indonesia, melayani pesawat-pesawat Air Fast yang membawa para pekerja perusahaan, sementara sisi lainnya menjadi milik Pemerintah Daerah Mimika, membuka gerbang bagi penerbangan komersial yang menghubungkan Mimika dengan dunia luar.
Di tengah denting logam dan desau angin landasan, dua dunia yang berbeda berjumpa di satu garis yang sama, menandai denyut nadi kehidupan di jantung Papua Tengah.
Salah satu diantara ini adalah makam tokoh kontraversial Kelik Kwalik di Timika Indah yang berhadapan dengan Gedung Eme Neme Yaware, Mimika Papua Tengah. FOTO: RUSTAM MADUBUN.PAPUADALAMBERITA.
Jalan-jalan lebar membelah kota, lampu-lampu berdiri tegak menerangi malam, menyambut gelap yang merayap perlahan.
Hotel-hotel berkelas tumbuh, tanpa mengurangi kehadiran hotel-hotel lama yang lebih dulu dibangun dan masih berdiri kokoh, dipadukan dengan munculnya pedagang-pedagang kaki lima di sejumlah jalan utama, seperti penjual pulsa yang berjejer, serta penjualan aksesori seperti tas noken yang subur sebagai buah tangan khas.
Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pun bergeliat, menghadirkan geliat ekonomi yang hidup, meski belum seramai ketika aku masih tinggal di Timika pada rentang tahun 2001 hingga 2013.
Namun tidak semua luka telah sembuh. Pasar Swadaya, yang pernah terbakar dalam gejolak ketika tokoh perlawanan Kelly Kwalik tertembak di gorong-gorong, hingga kini masih menyisakan perih.
Tanah sengketa, sebuah kisah lama yang akrab di tanah Papua sejak aku menginjakkan kaki pada 1993, kembali menghambat langkah pembangunan.
Sebelum akhirnya meninggalkan Timika pada tahun 2013 untuk sebuah misi baru di Manokwari membangun Harian Manokwari Express, cabang dari Timika Express aku sempat menyaksikan geliat terakhir pembangunan di kota ini.
Sambil menatap masa depan, aku pamit dari kota yang telah memberikan begitu banyak cerita, cinta, dan perjuangan.
Timika kini, bagiku, adalah simfoni antara perubahan dan kenangan. Ada yang tetap, ada yang beranjak.
Pertokoan lama di Jalan Bhayangkara tetap setia pada bentuknya; tukang jahit, penjual sepatu, seolah menolak lekang oleh waktu. Lapangan Sempan, seperti dulu, masih membentang kosong, menunggu sentuhan masa depan.
Namun perubahan itu tak bisa disangkal: jalan raya yang kini luas dan bertingkat dua jalur, kios-kios dan toko-toko yang tumbuh subur di berbagai sudut kota, gedung-gedung baru yang berdiri dengan wajah lebih modern, termasuk Kantor Bapenda Mimika yang kini tampil megah.
Timika yang aku kenal dua puluh lima tahun lalu, dan Timika yang aku pijak hari ini, adalah dua dunia yang berbeda namun saling berkelindan.
Seperti kenangan dan masa depan, keduanya hidup berdampingan di sudut hatiku, dalam desir angin lembut Amungsa yang tak pernah lelah berbisik: “Selamat datang kembali.
Lapak-lapak buah di Timika Indah berhadapan dengan Gedung Eme Neme Yaware, Mimika Papua Tengah. FOTO: RUSTAM MADUBUN.PAPUADALAMBERITA.
Sebelum akhirnya meninggalkan Timika pada tahun 2013 untuk sebuah misi baru di Manokwari — membangun Harian Manokwari Express, cabang dari Timika Express — aku sempat menyaksikan geliat terakhir pembangunan di kota ini.
Sambil menatap masa depan, aku pamit dari kota yang telah memberikan begitu banyak cerita, cinta, dan perjuangan.
Kini, setelah lebih dari satu dekade berlalu, aku kembali menjejakkan kaki di tanah yang pernah menjadi saksi perjalanan hidupku.
Namun kedatanganku kali ini bukan hanya untuk menatap perubahan kota yang kian megah, melainkan juga untuk menunaikan dua tugas hati.
Yang pertama, aku datang membawa rindu yang tak pernah padam — menziarahi makam ibunda tercinta yang telah beristirahat di pelukan bumi emas ini. Di bawah langit Timika yang kelabu, aku berlutut, membisikkan doa yang mengalir dari relung terdalam.
Di antara desir angin dan guguran daun kering, aku merasa seolah waktu berhenti, memberiku ruang untuk berbicara diam-diam dengan surga.
Yang kedua, aku melangkah membawa harapan baru: putra keduaku, yang dahulu lahir di RS Mitra Masyarakat Timika, yang menjadi abdi negara kini bersiap memulai babak baru dalam hidupnya.
Dalam sebuah momen sederhana namun penuh makna, aku datang mengetuk pintu keluarga gadis pujaannya untuk meminang atas nama cinta dan masa depan mereka berdua.
Sebuah perjalanan hidup yang seakan membentuk lingkaran sempurna, dari tanah ini mereka bermula, dan di tanah ini pula, kisah baru mereka akan bermula.(rustam madubun)